Ada dua diskusi yang dibahas di Kampus Fakultas Hukum Universitas Leiden, yaitu soal bantuan hukum dan hukum pidana. Salah satu yang menjadi bahasan menarik adalah mengenai justice collaborator atau tentang perlindungan saksi pelaku yang bekerja sama (SPB).
Ahli pidana Prof Dr. Jan Crijns dari Fakultas Hukum Leiden hadir sebagai pembicara dalam diskusi yang dipandu oleh Direktur Eksekutif Van Vollenhoven Instititute Universitas Leiden, Prof Dr. Jan Michiel Otto. 'Justice Collaborator' di Belanda dikenal dengan istilah Witness Agreements (perjanjian saksi). Perjanjian Saksi ini dibuat antara jaksa dengan saksi untuk memberikan kesaksian (testimoni) untuk membantu penegak hukum mengungkap kasus-kasus terutama kejahatan terorganisir (organized crime).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penghargaan yang diberikan kepada saksi pelaku sebagai imbalan untuk bekerjasama dengan penegak hukum yaitu maksimal 50% dari hukuman yang biasa diberikan bagi pelaku biasa. Penghargaan juga dapat diberikan dalam bentuk 50% dari keuntungan yang diperoleh dari perbuatan ilegal/melawan hukum yang dilakukan Justice Collaborator. Penghargaan juga bisa diberikan dalam bentuk dipindahkan ke lapas lain yang lebih memberikan ketenangan bagi saksi pelaku tersebut.
Semua aturan tersebut diatur dalam Dutch Criminal Code of Procedure yang diamandemen pada tahun 2006. Agar diskresi tidak disalahgunakan, maka selama proses investigasi berlangsung, dihadirkan examining judge semacam hakim komisaris. Hakim ini bertugas memastikan keabsahan agreement (lawfulness of the agreement) dan keakurasian saksi (reliability of the witness).
UU yang mengatur ini semua adalah Act on Pledges to Witnesses in Criminal Cases yg berlaku secara efektif 1 april 2006. UU ini kemudian terintegrasi ke dalam UU KUHAP Belanda.
Nah bagaimana di Indonesia? Salah seorang delegasi Indonesia, Mas Achmad Santosa menyatakan di Indonesia, Justice Collaborator telah mendapatkan basis hukum melalui pengesahan/ratifikasi UNCAC dan UNTOC. Revisi UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang diajukan oleh pemerintah, salah satunya dimotivasi oleh alasan memperkuat pasal-pasal tentang perlindungan Justice Collaborator.
Pada tahun 2011, MA juga telah menerbitkan SEMA 4/2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama di dalam perkara tindak pidana tertentu. Setelah itu pada tanggal 13 Desember 2011, Menkum HAM dan Jaksa Agung, Kapolri dan Ketua KPK serta Ketua LPSK menerbitkan Peraturan Bersama tentang Perlidungan bagi Pelapor, Saksi pelaku yang Bekerja Sama.
"Saya berpendapat pengaturan tentang prinsip-prinsip dan mekanisme JC perlu diatur dalam revisi UU no 13/ 2006," kata Mas Achmad Santosa.
Menurut dia, Prof Crijns bersama ahli dari Amerika Serikat dan Italia selama ini memang telah banyak memberikan masukan tentang prinsip, tata cara perlindungan/penghargaan Justice Collaborator pada saat Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) merumuskan bersama-sama Kejaksaan, Polri, KPK, LPSK, dan Kemenkum HAM.
"Saya berpendapat revisi UU 13/2006 perlu merumuskan perlindungan/penghargaan Justice Collobator ini sehingga tidak ada lagi hakim yang tidak mencantumkan pertimbangan perlunya penghhargaan/perlindungan untuk Justice Collaborator sebagaimana dalam kasus tipikor yang dilakukan pejabat-pejabat ESDM," kata Mas Achmad Santosa.
(asy/asy)