Kepada Menlu Timmermans seorang jurnalis Indonesia menanyakan, "Jika Beatrix turun tahta, perubahan apa yang akan terjadi pada kebijakan luar negeri (Belanda)?"
Ini sangat disayangkan, apalagi pada kesempatan sangat penting yang memiliki karakter internasional seperti konferensi pers dua Menteri Luar Negeri, yang pastinya juga dihadiri jurnalis asing negara bersangkutan, sebagaimana terbukti dari pemberitaan sebuah media terkemuka terbitan sore waktu setempat, Kamis (21/2/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai pemegang tahta negara monarki konstitusional, Ratu (Raja) Belanda tidak memiliki kekuasaan politik pemerintahan melainkan parlemen. Parlemen, sebagai representasi kekuasaan rakyat, yang menentukan kebijakan negara, termasuk kebijakan luar negeri, melalui organ eksekutif yakni kabinet yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri.
Peristiwa yang dicatat media Belanda tersebut juga sekurangnya menunjukkan jurnalis Indonesia kurang kesempatan atau bahkan malas untuk membaca, demi memperkaya pengetahuan atau sekadar penyegaran.
Di era informasi ini, di mana internet menjadi pintu perpustakaan hampir tanpa batas, sesungguhnya tidak boleh ada excuse untuk kejadian seperti itu. Seorang jurnalis begitu ditugaskan redaksi untuk menghadiri suatu konferensi pers dapat dengan mudah mempersiapkan diri, riset data, dan seterusnya. Kementerian Luar Negeri dalam hal kunjungan penting seperti ini pasti juga tidak mendadak menyampaikan undangan.
"Geduldig antwoordt Timmermans dat het de politiek is die dat beleid bepaalt, niet het staatshoofd. Dengan sabar Timmermans menjawab bahwa politiklah yang menentukan kebijakan, bukan kepala negara," tulis media itu.
Timmermans sebagai seorang Menteri Luar Negeri dan menjadi tamu di suatu negara sudah pasti pada kesempatan resmi seperti itu pandai menempatkan diri dengan etiquette sangat terjaga. Tetapi kita yang membaca catatan peristiwa itu cukup merah muka karena malu. Sebuah feedback dari Belanda, tak boleh terjadi lagi. (es/es)