Dalam rilis yang disampaikan detikcom, Jumat (22/2/2013), Sekjen FITRA Yuna Farhan menyampaikan penolakan terhadap rencana SBY. Alasan pertama, jumlah gaji pejabat daerah sebenarnya sudah tinggi.
Menurut Yuna, selama ini publik dipersepsikan bahwa penghasilan kepala daerah kecil. Yang diketahui publik hanya gaji pokok dan tunjangan jabatan saja, yakni Rp 8,4 juta (gaji pokok Rp 3 juta + Tunjangan Jabatan Rp 5,4 juta) untuk Gubernur dan Rp 5,8 juta (gaji pokok Rp 2,1 juta + Tunj. Jabatan Rp 3,7 juta) untuk Walikota / Bupati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, Yuna berkesimpulan, daerah yang miskin pajak dan retribusi, minimal seorang gubernur akan menerima gaji bulanan sebelum dipotong pajak sekitar Rp 58,8 juta. Sementara wali kota atau bupati mendapat Rp 41,1 juta.
"Secara resmi, Provinsi Jateng merilis Gaji Gubernurnya sebesar Rp 79,1 juta dan Gubernur Jatim Rp 79,8 juta, saat menanggapi rilis FITRA terkait pengahasilan Kepala Daerah akhir tahun lalu," tambahnya.
Penghasilan tersebut belum termasuk biaya penunjang operasional yang besarnya juga tergantung PAD. Biaya penunjang operasional ini ada yang bersifat lumpsum dan dikelola oleh bendahara. Untuk DKI Jakarta misalnya, biaya penunjang operasional yang diberikan setiap triwulannya sebesar Rp 4,4 miliar, dimana gubernur Rp 2,4 milyar, Wagub Rp 1 miliar dan yang dikelola bendahara Rp 900 juta.
Ditambahkan Yuna, Kenaikan gaji kepala daerah juga akan secara langsung diikuti oleh kenaikan penghasilan 15.000 anggota DPRD seluruh Indonesia. Pasalnya parameter penghasilan DPRD menggunakan dasar perhitungan gaji pokok Kepala Daerah.
"Kenaikan gaji kepala daerah akan membangkrutkan daerah," tegasnya.
Berdasarkan analisa FITRA, saat ini belanja daerah tersandera birokrasi. Pada tahun 2011, 298 daerah mengalokasikan 50%lebih anggarannya untuk belanja pegawai. Meningkat pada tahun 2012, 302 daerah mengalokasikan separuh anggarannya untuk belanja pegawai.
(mad/nvc)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini