"Pernyataan Wakil Jaksa Agung Darmono soal keberadaan Joko Tjandra ada di Singapura itu tak berdasar," tulis juru bicara Kementerian Luar Negeri Singapura dalam rilisnya, Jumat (8/2/2013).
Pihak Kemlu Singapura sudah melakukan pemeriksaan ke bagian Imigrasi. Hasilnya, tak ada nama Djoko di catatan mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Akan jauh lebih baik bila Darmono punya cukup fakta sebelum membuat klaim tak berdasar," tutup rilis tersebut.
Sebelumnya, Darmono menyebutkan, meski Djoko tercatat warga Papua Nugini, namun Djoko lebih sering berada di Singapura.
"Tercatat dia selama setahun ini hanya berada di PNG selama 4 kali. Yaitu Januari, April, Juli, September. Dia juga selama disana tinggal di sebuah hotel yang cukup terkenal di sana," ujar Darmono.
Darmono menambahkan, saat dirinya bersama tim terpadu mengunjungi PNG, Djoko Tjandra tidak berada disana. Darmono menyebutkan pihaknya juga akan meminta pemerintah Singapura untuk membantu pemulangan Djoko Tjandra.
Djoko Tjandra merupakan buron dalam kasus (hak tagih) cessie Bank Bali. Kasus ini bermula pada 11 Januari 1999 ketika disusun sebuah perjanjian pengalihan tagihaan piutang antara Bank Bali yang diwakili oleh Rudy Ramli dan Rusli Suryadi dengan Djoko Tjandra selaku Direktur Utama PT Persada Harum Lestari, mengenai tagihan utang Bank Bali terhadap Bank Tiara sebesar Rp38 miliar. Pembayaran utang kepada Bank Bali diputuskan dilakukan selambat-lambatnya pada tanggal 11 Juni 1999.
Selain soal tagihan utang Bank Bali terhadap Bank Tiara, disusun pula perjanjian pengalihan tagihan utang antara Bank Bali dengan Djoko Tjandra mengenai tagihan piutang Bank Bali terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) dan Bank Umum Nasional (BUN) sebesar lebih dari Rp 798 miliar. Pembayaran utang kepada Bank Bali diputuskan dilakukan selambat-lambatnya 3 bulan setelah perjanjian itu dibuat. Untuk perjanjian tagihan utang yang kedua ini, Joko Tjandra berperan selaku Direktur PT Era Giat Prima.
Djoko diduga meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusumah di Jakarta ke Port Moresby pada 10 Juni 2009, hanya satu hari sebelum Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan atas perkaranya. MA menyatakan Djoko Tjandra bersalah dan harus membayar denda Rp 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 54 miliar dirampas untuk negara.
(mad/ndr)