Hal itu disampaikan Deputy Chief of Mission KBRI Berlin Dr. Siswo Pramono dalam pembukaan pameran lukisan karya Raden Saleh dari koleksi Museum Sejarah Leipzig di Balaikota Leipzig, Jerman, baru-baru ini.
"Sebagaimana pesan Raden Saleh yang tertulis di Masjid Kubah Biru peninggalannya di Kota Maxen, 15 km dari Dresden, yang berarti 'Sembahlah Tuhanmu dan Cintailah Sesama Manusia," demikian Dr. Pramono.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di antara koleksi yang dipamerkan adalah dua buah lukisan harimau dan lukisan utama berjudul Stierjagd auf Java (Berburu Banteng di Jawa) buatan tahun 1842 dengan media kanvas dan cat minyak berdimensi 85 cm X 140 cm.
Pernyataan Dr. Pramono diamini oleh Dr. Werner Kraus, akademikus dari Universitas Passau, yang selama 25 tahun telah meneliti jejak Raden Saleh dan menuliskannya dalam sebuah buku Raden Saleh, the Beginning of Modern Indonesian Painting.
Kraus mengilustrasikan bagaimana Raden Saleh berupaya untuk membangun jembatan antara dua kebudayaan berbeda. Dalam penelitiannya, Kraus menemukan berbagai manuskrip Raden Saleh di Dresden, sebagai bukti pendukung dari upayanya tersebut.
"A lot of my life was dedicated exactly to this purpose,
trying to connect two very different cultures.
But behind each and every culture there are human beings,
and human beings are not so different.
Banyak hidup saya baktikan justru untuk tujuan ini,
mencoba untuk menghubungkan dua budaya sangat berbeda.
Namun di balik masing-masing dan tiap-tiap budaya ada manusia-manusia,
dan manusia-manusia itu tidak begitu berbeda (red),"
Demikian Kraus mengutip Raden Saleh dalam salah satu manuskripnya, yang sayang sekali sebagian telah hilang saat Perang Dunia II.
Eksentrik
Didaulat untuk hadir mengupas mengenai Raden Saleh, Kraus juga menceritakan sisi eksentrik seniman besar kelahiran Terboyo, Semarang (1811), yang mulai 1829 menikmati beasiswa akademi seni rupa di Negeri Belanda itu.
Menurut Kraus, tema-tema lukisan eksotik, gaya hidup flamboyan, dan seleranya dalam berbusana tradisional aristokrat Jawa, yang kerap dipertontonkannya dalam pesta-pesta berkelas di Eropa saat itu sangat menarik dan menjadi banyak perbincangan di mana-mana.
"Penampilannya yang eksentrik itu menjadikan Raden Saleh berhasil meruntuhkan hati berbagai wanita cantik di Eropa pada zamannya," ujar Kraus pada saat pembukaan pameran.
Dijelaskan bahwa pada awal abad ke-19 dunia Barat sedang gandrung pada kebudayaan Timur, di mana dunia Timur dipandang sebagai tanah misterius, penuh dengan kekayaan luarbiasa nan eksotis dan kadang erotis, sehingga menjadi tema dominan dalam kesenian saat itu, termasuk prosa, puisi dan opera.
Raden Saleh sendiri terkesima oleh kemewahan istana-istana Eropa yang berkilauan bak dalam dongeng. Itu adalah pengalaman eksotis baginya, sama seperti orang Eropa waktu itu memandang eksotisme alam Indonesia.
Namun, lanjut Kraus, fenomena ini tidak sepenuhnya mengalir satu arah. Pada saat peradaban Barat tengah tergila-gila pada apa pun yang berbau eksotisme Timur, muncul satu kasus orientalisme terbalik di mana Raden Saleh, maestro pelukis Indonesia yang menguasai teknik-teknik seni rupa Barat, meniru rasa seni mereka.
Peka
Raden Saleh belajar seni rupa di Negeri Belanda mulai 1829, di bawah asuhan pelukis Cornelis Kruseman (1797-1857). Kemudian pada 1839 dia masuk ke lingkaran elite Jerman pada masa itu. Dia dianggap sebagai personifikasi nyata orientalisme, baik dari bakat dan kepribadiannya, maupun karya-karyanya.
Berbagai faktor itu membuat Raden Saleh sangat dekat dengan pergaulan kaum aristokrat Jerman pada masa itu. Duke of Saxe-Coburg and Gotha serta adiknya yaitu Pangeran Albert yang kemudian menikah dengan Ratu Victoria dari Inggris tercatat merupakan salah satu sahabat dekatnya.
Walaupun mengenyam pendidikan melukis di Negeri Belanda, namun justru di Jerman Raden Saleh menemukan dirinya, lepas dari jerat sebagai inlander dan merasa bebas mengekspresikan jiwanya.
Dia bangga mengenakan busana aristokrat Jawa dan menikmati kekaguman dari masyarakat Jerman yang tidak memiliki kaitan penjajahan dengan asal-usulnya. Bahkan perjalanan Raden Saleh dari Frankfurt, Berlin dan kemudian Dresden saat itu banyak menyedot perhatian.
Pameran lukisan karya Raden Saleh di Leipzig ini menurut keterangan Sekretaris II Penerangan, Sosial dan Budaya Purno Widodo diprakarsai oleh Deutsch-Indonesischen Gesellschaft (Perkumpulan Masyarakat Indonesia-Jerman).
Hadir tak kurang dari 100 pengunjung dari Perkumpulan Masyarakat Indonesia-Jerman yang diketuai oleh Dr. Claus Gerd Rohde, anggota Lion Club, kaum akademisi dan seni di Leipzig. (es/es)