Isu Pungli di KUA Merebak: Ada KUA Kembalikan Uang, Ada yang Ngomel

Isu Pungli di KUA Merebak: Ada KUA Kembalikan Uang, Ada yang Ngomel

- detikNews
Jumat, 04 Jan 2013 15:54 WIB
dok pembaca detikcom Daniel Lukas Rorong
Jakarta - Tarif administrasi pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) menurut PP 47/2004 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Kemenag adalah Rp 30 ribu. Banyak warga protes atas kenyataan di lapangan yang jauh lebih tinggi daripada tarif resmi. Apa respon KUA?

Dua pembaca detikcom ini menyampaikan pengalamannya setelah melayangkan protes. Hasilnya, ada KUA yang mengembalikan uangnya, ada yang malah ngomel-ngomel karena menuntut membayar dengan tarif resmi. Berikut pengalaman 2 pembaca detikcom yang dibagikan melalui email, Jumat (4/1/2013).

Dyah Putri, seorang pembaca yang menikah pada 4 November 2012 lalu di wilayah Kelapa Gading mengeluhkan banyaknya pungli.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ada biaya pelicin untuk orang-orang, dimulai dari kelurahan sampai KUA, yang kurang lebih jumlahnya 3-5 orang. Per orang biasanya sudah menarifkan harga sekitar Rp 50 ribu.

Belum lagi ada biaya pendaftaran untuk penataran sekitar Rp 200 ribuan. Untuk biaya ini bisa saya maklumi karena memang ada imbal baliknya berupa buku-buku dan materi tentang pernikahan. Tetapi setelah itu ada biaya yang paling besar yaitu sebesar Rp 600 ribu, entahlah untuk apa uang ini, karena saya tidak mendapatkan bukti apapun baik kuitansi lunas atau apapun. Jumlah ini tiap orang berbeda-beda katanya bahkan ada yang sampai Rp 1,2 juta. Biasanya mereka berdalih uangnya untuk penghulu.


Demikian surat elektronik Dyah Putri kepada detikcom, Jumat (28/12/2013) lalu. Setelah berita pungli KUA cukup santer, Dyah mengaku dipanggil KUA di tempatnya menikah. Dyah diajak bertukar pikiran oleh Kepala KUA dan uangnya dikembalikan. Berikut pengalaman Dyah:

Terima kasih sebelumnya saya ucapkan telah menyalurkan pendapat saya ke bagian terkait.
Hari ini pun saya dipanggil ke KUA untuk tukar pikiran dengan ketua KUA setempat. Dan melalui pembicaraan tersebut, saya baru mengerti sebenarnya untuk apa pungutan tersebut dan kenapa mereka melakukannya.

Salah satunya adalah mengenai jam kerja mereka dengan waktu saya mengadakan ijab qabul. Jam kerja penghulu biasanya Senin sampai Jumat di mana sama seperti PNS pada umumnya, sedangkan biasanya pernikahan dilakukan di hari libur mereka yaitu Sabtu-Minggu. Di mana waktu tersebut adalah waktu yang harusnya mereka gunakan untuk keluarga mereka namun karena tugas mulia, maka tidak ada alasan untuk menolaknya.

Uang Rp 600 ribu yang dulu pernah saya berikan untuk penghulu, sudah dikembalikan. Namun saya merasa prihatin dengan sarana dan prasarana yang ada di sana. Memang KUA dapat tunjangan dari pemerintah, tapi tunjangan tersebut tidak bisa menutupi kebutuhan operasional mereka, dan untuk ongkos bolak balik ke calon pengantin. Karena biasanya sudah jarang pasangan yang mau menikah di kantor KUA dengan alasan gengsi.

Menurut saya pribadi, setelah tahu hal itu, tidak salah mereka memungut sedikit biaya kepada calon pengantin asal alasan mereka jelas, seperti yang mereka utarakan kepada saya. Sehingga masyarakat dapat mengerti ke mana larinya pungutan tersebut dan tidak bersikap suudzon (buruk sangka) kepada petugas KUA.

Dengan adanya pertemuan ini saya jadi tahu bahwa sebenarnya biaya pencatatan pernikahan di KUA hanya Rp 30 ribu bila hal ini dilakukan di kantor KUA. Lain halnya bila dilakukan di luar, para penghulu juga butuh ongkos bolak balik ke lokasi, butuh untuk memperbaiki fasilitas di KUA dan yang paling penting adalah waktu yang mereka korbankan untuk keluarga mereka di hari libur.

Semoga dengan adanya email ini, pihak redaksi dapat memuat dengan bahasa yang lebih baik dan orang-orang seperti saya yang tadinya tidak tahu, jadi mengerti kenapa ada pungutan liar. Dan semoga pemerintah dapat lebih peka terhadapa sarana prasarana dan fasilitas untuk instansi-instansi yang paling dasar.


Ada pula Ayub Ardiansyah, yang hendak menikah di KUA di kawasan Malang, Jawa Timur, yang hendak mencatatkan pernikahan. Ayub ngotot ingin membayar sesuai peraturan PP 47/2004 sesuai dengan statemen Irjen Kemenag M Jasin. Tapi petugas KUA itu malah ngomel-ngomel. Berikut cerita Ayub:

Hari kemarin 3-1-2013 saya mau ngurus administrasi buat nikah di Malang,tapi lewat kantor kelurahan dulu. Mertua saya sempet nanya ke modinnya kalau katanya koran sama di TV kan biaya nikah asli cuma Rp 30 ribu. Eh malah marah-marah itu modinnya, dibilangin minteri (menggurui)-lah, apalah, katanya kalau semua orang cuma Rp 30 ribu aja modin, pak lurah bakalan mati nggak dapat apa-apa. Padahal setahu saya, mereka-mereka sudah dapet sawah karena jabatan mereka.

Buat ngetok stempel ke kepala desa aja kata modinnya Rp 50 ribu. Saya pasrah saja diminta Rp 450 ribu buat ngurusin semuanya sampai KUA-nya juga. Sebab berdasarkan pengalaman teman, kalau mengurus sendiri diruwetin sama KUA-nya, baru kalau ada duit langsung lancar semua urusannya, ujung-ujungnya juga duit.

Daripada ribut debat masalah Rp 30 ribu mending saya ngalah saja daripada dimusuhin sama modinnya, terus dibikin sulit nikahnya, saya anggap amal saja ke orang-orang itu. Meskipun saya kekurangan dan yatim, saya ikhlas kok, nanti Allah bakalan ganti semua.

Cuma saya pingin suatu saat nanti lembaga-lembaga itu bisa bersih dan transparan semua, orang nikah itu ibadah. Kenapa harus dipersulit?


(nwk/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads