PPATK menyoroti pengelolaan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) oleh Kemenag. Berdasarkan temuan PPATK, dari dana penyelenggaran ibadah haji yang mencapai Rp 80 triliun, ada bunga sebesar Rp 2,3 triliun yang tak jelas pemanfaatannya.
Menanggapi temuan itu Dirjen PHU, Anggito Abimanyu membantah dana penyelenggaraan haji mencapai Rp 80 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dana manfaat tersebut, dialokasikan untuk mengurangi BPIH untuk biaya pemondokan Makkah, Madinah, Jeddah, pelayanan umum di Saudi Arabia, katering dan transportasi, pengurusan paspor, pelayanan embarkasi, bimbingan, buku manasik, asuransi, operasional haji dalam dan luar negeri lainnya.
Selain itu, hasil efisiensi dari operasional penyelenggaraan ibadah haji setiap tahun dimasukkan ke rekening Dana Abadi Umat (DAU). "Hingga hari ini akumulasi DAU berjumlah Rp 2,2 triliun," papar Anggito.
Nilai manfaat itu juga tak bisa dibelikan apartemen seperti yang dikatakan M Yusuf. Anggito mengatakan pemerintah Saudi Arabia tidak memperbolehkan adanya kepemilikan asing pada aset/properti seperti perumahan.
"Yang bisa dilakukan adalah melakukan penyewaan perumahan jangka panjang dan pada saat ini kita sedang menjajaki hal tersebut," tutur Anggito.
"Pemondokan (Indonesia) Makkah dari dan ke Masjidil Haram telah relatif dekat, yakni maksimal 2,5 km," imbuhnya.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sedang melakukan audit biaya ibadah haji. PPATK menduga adanya ketidaktransparanan dalam penggunaan Ongkos Naik Haji (ONH).
"Saat ini kita sedang mengaudit biaya haji. Kita berpendapat ada yang tidak transparan," ujar M Yusuf di kantornya kemarin, Rabu (2/1).
Yusuf mengatakan sejak 2004 hingga 2012 ada sekitar Rp 80 triliun uang Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) dengan sebesar Rp 2,3 triliun pertahun. Namun dengan uang dana sebesar itu, fasilitas haji yang diberikan pemerintah kepada jamaah masih kurang memadai.
Menurutnya, seharusnya dengan biaya sebesar itu jamaah haji mendapat fasilitas yang lebih baik. Selama ini jamaah Indonesia mendapat penginapan yang jauh dari Masjidil Haram.
"Kita ingin ada standarisasi kenapa pilih bank X bukan Y untuk menyimpannya. Karena selisih satu persen saja, misalnya di bank X bunganya 7%, di bank Y 8%, 1% kalau dikalikan sekian puluh miliar bisa dibayangkan,β tuturnya.
"Penginapan jamaah jauh dari masjidil haram, padahal dananya banyak. Dana itu jika dibelikan apartemen atau apapun, mungkin jamaah tidak akan susah," pungkas Yusuf.
(trq/mok)