"Kalau ingin ringan, laksanakan di KUA dan di jam kantor," ujar Dirjen Bimas Islam Kemenag Abdul Djamil saat berbincang dengan detikcom, Sabtu (29/12/2012).
Djamil tidak menampik bahwa di KUA ada saja oknum-oknum yang melakukan praktik pungli. Meski begitu dia meminta masyarakat tidak menggeneralisir bahwa di setiap KUA terjadi praktik seperti itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Indonesia sendiri tercatat ada 5.382 KUA. Ada variasi lokasi dan tingkat kesulitan yang berbeda di setiap KUA. Maka tidak bisa dikatakan bahwa apa yang diberikan oleh masyarakat kepada penghulu adalah sebuah pungli.
"Pada umumnya dia melaksanakan tugas atas permintaan masyarakat di luar kerja dan di luar kantor. Masyarakat umumnya mengadakan nikah tidak mau di kantor KUA, tidak sepeti orang menggunakan layanan jasa lainnya. Mereka menentukan hari libur, Sabtu-Minggu," jelasnya.
Selain itu, masyarakat juga banyak yang tidak ingin menikah di kantor KUA melainkan di masjid atau di gedung-gedung. Sebab bagi calon pengantin, pernikahan itu adalah sebuah peristiwa yang monumental.
"Karena pernikahan itu peristiwa monumental, sehingga harus dilakukan di masjid tidak mau di balai nikah," tuturnya.
Menurut Keputusan Menteri Agama (KMA) No 11 tahun 2007, penghulu sebagai Pejabat Pencatat Nikah (PPN). Namun dalam praktiknya, penghulu juga sering diminta untuk berkhutbah, wakil wali yang dinikahi, juga sekaligus memimpin doa.
"Karena situasi seperti ini masyarakat sebagai rasa terima kasih memberi tanda terima kasih. Wujud tanda terima kasih bisa macam-macam bisa uang, atau buah, jumlahnya tidak selalu sama," paparnya.
Djamil mengatakan aturan dasar biaya nikah itu diatur dalam PP 47 tahun 2004 dan PP 51 tahun 2000 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Maka jika ada oknum pegawai KUA yang memasang tarif, hal itu sudah pasti adalah pelanggaran.
"Bisa dilaporkan. Bahkan sudah ada yang dilaporkan, satu, dua orang," tutupnya.
(mpr/gah)