4 Halte Bus Sarang PKL yang Perlu Di-Make Over Jokowi

4 Halte Bus Sarang PKL yang Perlu Di-Make Over Jokowi

- detikNews
Rabu, 12 Des 2012 11:17 WIB
4 Halte Bus Sarang PKL yang Perlu Di-Make Over Jokowi
Jakarta -

1. Halte TransJ Cawang

Jembatan-jembatan di halte TransJ UKI, Cawang, Jakarta Timur, dijadikan markas pedagang. Pedagang menggelar aneka dagangan seperti jam tangan, asesoris handphone dan pernak pernik lainnya. Dagangan mereka memakan separuh lajur jembatan.

"Suka ada petugas yang minta jatah uang rokok," kata Muhammad (52) yang berdagang di jembatan Halte TransJ di UKI, Cawang, Selasa (11/12/2012) bercerita soal izin dia berdagang.

Jadi uang rokok itu, menjadi iuran uang pengamanan. Mereka pun aman dari razia yang dilakukan Satpol PP. Muhammad berdagang jam dan service jam. Dalam satu bulan dia bisa meraup penghasilan Rp 3 juta.

"Saya sudah jualan 12 tahun di halte ini, sebelum jadi bagus kaya gini haltenya," jelasnya.

Untuk membuka lapak di jembatan halte ini pun mesti menyetor uang lapak. Uang itu diberikan kepada pedagang yang senior. Ada 12 pedagang yang berjualan di jembatan halte itu. Mereka kadang suka patungan untuk memberi rokok ala kadarnya kepada "petugas".

"Sistemnya kita gotong royong. Jadi pedagang di sini patungan buat beli rokok, paling mentok satu pedagang kasih Rp 3.000 perak," jelas pria asli Betawi ini.

Keberadaan pedagang ini sejatinya memang cukup membantu. Bayangkan, selama ini halte TransJ tak ada petugas keamanan yang menjaga, seperti Satpol PP, misalnya. Jadi, kalau ada copet atau pelaku pemalakan, para pedagang ini kompak membantu para penumpang atau pengguna jembatan penyeberangan.

"Istilah kata, kalau ada apa-apa kayak copet pedagang pasti turun tangan soalnya kalau nggak aman nanti nggak ada yang lewat, terus yang beli dagangan siapa?" tuturnya.

2. Halte Jadi Pangkalan Ojek

Halte bus di Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat minim fasilitas seperti bangku bagi calon penumpang untuk menunggu bus.

Atap halte sebagai pelindung hujan dan panas bangunan banyak yang terlepas alias bolong.

Besi-besi di halte tersebut banyak yang sudah berkarat, pagar halte juga banyak yang hilang dan tidak terawat.

Yang mengkhawatirkan, halte justru jadi tempat permanen bagi pedagang kaki lima (PKL) untuk berdagang, juga tempat bagi pengojek motor mangkal.

Di halte itu hanya tersedia bangku sederhana sepanjang 10 meter yang terbuat dari potongan kayu pinang hasil buatan tangan pengojek motor setempat.

Dina (26), warga yang biasa menunggu di halte bus itu, menumpahkan unek-uneknya. Ia terpaksa berpegal-pegal ria berdiri hingga setengah jam.

"Inginnya sih duduk tapi nggak ada bangkunya," ujar Dina di Halte Rawa Buaya, cengkareng, Jakarta Barat, Selasa (11/12/2012).

3. Halte Jadi Kavling Permanen

Pedagang minuman dan rokok sudah mengkavling halte bus di Cawang di dekat hutan kota. MerekaΒ  seperti sudah permanen mengambil alih fungsi fasilitas publik itu.

"Saya dagang cukup lama," kata Babe (52) pedagang rokok yang membuka lapak di halte bus itu.

Babe mengaku kerap membayar sewa atau uang jago kepada seorang koordinator keamanan.

"Namanya cari nafkah, buat anak," jelas Babe memberi alasan.

Lagipula, kata Babe, keberadaan warung itu justru membantu para penumpang bus. Maklum keadaan di sekitar lokasi memang agar rawan, apalagi kalau malam hari.

"Kita juga enggak pernah diusir tuh," imbuh Babe.

4. Halte Jadi Toko Helm

Halte bus di wilayah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, kini jadi tempat permanen dipergunakan untuk berjualan helm motor.

Berdasarkan pantauan detikcom Senin (10/12/2012) halte bus bercat abu-abu yang berada di depan Jalan Siaga II, Pasar Minggu, Jakarta Selatan itu kondisinya sudah amat mengkhawatirkan. Halte yang berukuran panjang 10 meter dan lebar 2 meter itu sulit dipakai untuk menunggu bus karena berubah fungsi.

"Saya sudah berjualan sejak tahun '84, awalnya saya jualan topi di bawah Jembatan Semanggi, karena dulu motor nggak wajib pakai helm. Terus saya baru jualan di sini sekitar 10 tahunan lebihlah," ujar Kardi (54), pemilik lapak helm itu saat ditemui di lokasi.

Kardi menuturkan petugas Satpol PP selalu melakukan razia. Namun sehari sebelum operasi, dia selalu diberitahu bahwa akan ada razia.

"Suka ada pemberitahuan, 'Tolong entar masukkan barang-barangnya kedalam'," kata Kardi seraya menirukan arahan petugas Satpol PP itu.

Kardi tidak gratis berjualan, ada uang sewa.

"Ada, biasanya per bulan bayar Rp 150 ribu. Ya ke camat, ke lurah, ke RT, pokoknya Rp 150 ribu bayarnya. Jadi di sini udah ada yang megangnya," kata Kardi.
Halaman 2 dari 5
(aan/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads