Sophie si Mutiara Diaspora Indonesia dari Noumea

Laporan dari Brussel

Sophie si Mutiara Diaspora Indonesia dari Noumea

- detikNews
Minggu, 09 Des 2012 16:56 WIB
Brussel - Cinta Indonesia sepenuh jiwa, tapi kerasan tinggal di luar negeri. Sophie Soejitno adalah contoh Diaspora Indonesia. Si cantik ini fasih menguasai bahasa Prancis, Inggris, Indonesia, Jawa, sampai tari klasik Jawa dan Bali. Intelligence et beaute, magnifique!

Mengenyam pendidikan tinggi untuk bachelor di University of New Caledonia, kemudian menempuh master di Metropolitn Univerzita Praha (Ceko), University of La Rochelle (Prancis), dan Univeristas Padjadjaran (Unpad, Bandung), gadis belia Diaspora Indonesia yang kosmopolit ini telah berbuat banyak untuk Indonesia.

Selama di Praha, Sophie (21 tahun) aktif mempromosikan Indonesia melalui lingkup pergaulannya yang luas, termasuk ambil bagian dalam diplomasi kebudayaan di KBRI Praha dengan menampilkan tari-tarian Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beragam tarian Indonesia yang sulit dan rumit dikuasainya, antara lain Tari Klasik Jawa, Tari Pemburu Kijang, Tari Golek, Tari Klono Topeng, Tari Kuda-Kuda, Reog Ponorogo, sampai tari-tarian Bali seperti Tari Pendet, Tari Panji Semirang, Tari Tamulilingan, Tari Puspanjali, Tari Belibis, Tari Cendrawasih, Tari Sekar Jagat, Tari Panyembrama, Tari Cilinaya, Tari Tedung Sari, Tari Margapati dll.

Di sela-sela hari rutinnya kuliah, Sophie juga mengajar tari-tarian terutama Jawa dan Bali untuk para belia Ceko dan diaspora Indonesia setempat.

"Pengalaman pertama di Praha itu saat saya ikut pertukaran mahasiswa magister International Relation di Metrolitan University Prague, 2010-2011. Saya waktu itu diminta untuk mengajar Tari Bali di KBRI Praha, sebagian murid saya adalah diaspora Indonesia di Praha," tutur Sophie kepada detikcom baru-baru ini sepulang dari Brussel.

Puncak kiprah Sophie dalam mempromosikan budaya dan citra Indonesia antara lain tampil di International Festival of Outdoor Films di Moninec Ski Resort, mengisi acara diplomatik di Wisma Duta dengan audiens kalangan diplomat asing dan pejabat tinggi pemerintah setempat serta Fashion Show karya Priyo Oktaviano di Praha, yang mendapat perhatian luas majalah fashion Marie Claire, Cosmopolitan, Mlada Fronta Dnes dan Harper's Bazaar.

Bagaimana si cantik dan pintar yang lahir dan besar di luar negeri ini bisa demikian piawai menguasai seni budaya Indonesia?

"Saya menari sejak umur 5 tahun," kisah Sophie.

Menurut Sophie, masih melekat kuat di benaknya saat pertama kali dia menari yaitu untuk acara peringatan 100 tahun orang Indonesia datang di New Caledonia. Ribuan orang pada malam itu berbondong-bondong menghadiri acara tersebut demi menyaksikan sendratari Ramayana.

"Dalam sendratari Ramayana itu saya menari sebagai kelinci. Semalaman saya yang masih kecil tidak mau lepas baju tarian dan akhirnya tidur dengan berpakaian seperti kelinci sampai bangun pagi keesokan harinya," tutur Sophie mengenang.

Pada awalnya, lanjut Sophie, dia belajar tari Jawa klasik Solo di Konsulat Jendral Republik Indonesia di Noumea, ibukota New Caledonia, wilayah Prancis di Pasifik.

"Ibu saya dulu penari Jawa dan Bali dan dia yang menawari saya untuk belajar tari-tarian tersebut supaya saya tetap mengenal budaya Indonesia. Walaupun lahir dan besar di luar negeri akhirnya saya jatuh cinta dengan budaya warisan nenek moyang yang nilainya tak terhingga," papar Sophie.

Selanjutnya darah seni Sophie yang menggelora di usia belia mendorongnya untuk mencoba Ballet dan tari Tahiti. Tapi pada saatnya Sophie harus memilih karena keterbatasan waktu luangnya yang semakin berkurang.

"Saya tidak mikir lama dan pilih tarian Indonesia," derai tawa Sophie ditingkah lesung pipinya yang indah merona.

Setelah mantap menjatuhkan pilihan pada tarian Indonesia, Sophie kemudian belajar tari Jawa pada Asosiasi Marsudi Budaya Indonesia di New Caldonia (AMBINC), di bawah asuhan gurunya yang bernama Suratno dari Solo.

"Beliau mengajar tari Jawa, gamelan, angklung dan menjadi dalang sedangkan umurnya sudah 70 tahun. Seorang yang sangat hebat, berani mengatur sendiri grup penari dan musisi lebih dari 30 orang. Beliau yang mengajarkan betapa setiap gerakan harus dinikmati dan harus teliti dan sabar. Kita diharuskan belajar tarian untuk perempuan tapi juga untuk laki-laki. Saya sendiri lebih suka memerankan laki-laki karena menurut saya lebih ekspresif," papar Sophie.

Belum puas dengan beragam tarian yang telah dikuasainya, Sophie kemudian juga belajar Tari Pemburu Kijang, Golek, Klono Topeng, Kuda-Kuda, Reog Ponorogo dll, yang menurutnya tidak bisa disebut satu per satu.

"Ada saatnya seperti di sekolah seorang penari harus naik kelas dan akhirnya ganti peran, seperti dulunya jadi kijang setelah itu jadi pemburunya atau di sendratari awalnya jadi kelinci, setelah itu jadi kijang, jadi Rama dan akhirnya saya jadi Shinta," ujar Sophie berfilosofi.

Sophie juga pernah berguru tari kreasi baru dari berbagai daerah Indonesia pada Rusmaeni Sanmohamat, yang juga anggota Parlemen di New Caledonia. Pada saat KJRI Noumea membuka kursus Tari Bali dan Jaipongan dengan guru Diah Dewi Amim, Sophie juga mencoba kedua-duanya.

Setelah mengenal Tari Bali, Sophie merasa lebih suka pada tarian dari Pulau Dewata ini dan akhirnya sama sekali berhenti kursus tari Jawa, meskipun dia masih sering menampilkannya. Mulai masuk SMP sampai lulus SMA, Sophie betul-betul fokus mendalami Tari Bali.

"Tapi buat saya tidak ada yang lebih bagus atau lebih susah antara satu dengan lainnya. Masing-masing memiliki keindahan dan daya pesona sangat khas, yang kadang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata," aku Sophie (Bersambung) (es/es)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads