"Transaksi Juni, izin dari Bapepam pada November 2006 yang mulia. Jadi pada saat itu masih sedang proses di Bapepam," ujar Markus menjawab pertanyaan ketua majelis hakim Pangeran Napitupulu dalam sesi pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor, Jl HR Rasuna Said, Jaksel, Selasa (20/11/2012).
Lalu hakim Pangeran mencecar Markus perihal tidak adanya izin Bapepam bagi sebuah perusahaan investasi. Diketahui PT JI menerima investasi dari Askrindo berupa Kontrak Pengelolaan dana (KPD) KPD sebesar Rp 5 milliar, repo saham Rp 133 milliar dan obligasi Rp 12 milliar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mendapat pengakuan itu hakim Pangeran, berhenti mencecar. "Jadi begitu menurut Anda, baik kalau begitu," cetus sang hakim.
Sedangkan menurut jaksa, izin Bapepam adalah landasan bagi perusahaan manajer investasi untuk melakukan kontrak investasi. Apa yang dilakukan PT JI dan Askrindo dinilai bertentangan dengan peraturan yang ada.
"Itu jelas bertentangan dengan Undang-undang Bapepam. Seharusnya Askrindo juga mengetahui ini," ujar jaksa Tasjrifin di sela-sela rehat persidangan.
Markus Suryawan dan rekannya, Benny A Situmorang, bos perusahaan manajer investasi didakwa telah merugikan uang negara Rp267miliar lantaran menerima penempatan investasi dari PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) berupa Kontrak Pengelolaan dana (KPD), penjualan dan pembelian saham kembali (Repo saham) dan obligasi kepada perusahaan pengelola investasi di pasar modal atawa Manajer Investasi (MI). Dua perusahaan MI yang terlibat adalah PT Jakarta Asset Management (JAM) dan PT Jakarta Investment (JI).
Berdasarkan surat dakwaan jaksa, perkara ini berawal dari ketika Divisi Penjamin PT Askrindo memberikan penjaminan Letter of Credit (LC) ke sejumlah nasabahnya, yakni PT Tranka Kabel atau PT Terang Kita, PT Multi Megah Internusa, PT Vitron dan PT Indowan Investama Group di Bank Mandiri. Namun, dalam perjalanannya para nasabah PT Askrindo tersebut tidak sanggup membayar jaminan tersebut sehingga PT Askrindo harus membayar klaim pada bank penerbit LC, PT Bank Mandiri Tbk.
Untuk menutupi kerugian akibat membayar klaim, PT Askrindo kemudian memberikan dana talangan kepada para nasabah tersebut dengan cara membeli Promissory Note(PN) dan Medium Term Note (MTN). Tapi ternyata, nasabah-nasabah PT Askrindo tersebut tidak bisa menyelesaikan kewajibannya kembali.
Askrindo lalu mencoba cara lain, tujuannya agar jaminan yang dibayarkan Askrindo pada Bank Mandiri atas empat nasabah, kembali ke kas Askrindo. Namun karena ada peraturan bahwa Askrindo dilarang memberikan investasi langsung pada korporasi lain, apalagi nasabah, maka diputuskan upaya itu dilakukan melalui jasa Manajer Investasi.
Selain didakwa memperkaya diri sendiri dan orang lain, kedua terdakwa Markus dan Benny juga dijerat pasal pencucian uang. Menurut penuntut umum, penempatan dana seolah-olah investasi yang diterima kedua terdakwa tersebut sebenarnya untuk menyembunyikan atau menyamarkan dana yang berasal dari PT Askrindo untuk membantu nasabah-nasabahnya yang gagal bayar.
Menurut jaksa, delik pencucian uang di atas diterapkan karena Askrindo dan PT JAM serta JI diduga terlibat persekongkolan yang hanya menjadikan perusahaan manajer investasi itu sebagai perantara semata dan merupakan bentuk penyamaran. Karena pada prinsipnya Askrindo tidak boleh memberikan dana talangan kepada nasabahnya.
Menurut jaksa, seluruh penempatan dana PT Askrindo kepada PT JAM, PT JI dan berupa KPD, repo saham dan titip jual obligasi totalnya sebesar Rp 267 miliar. Angka ini pula yang dianggap jaksa sebagai kerugian negara dalam perkara ini.
(fjp/lh)