Suap,adalah praktik ilegal pertama yang ditemukan dalam penilaian Adipura. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2011 menemukan adanya aliran dana tak wajar dari Pemkot Bekasi yang dipimpin oleh Mochtar Muhammad ke panitia Adipura.
Saat disidang, Mochtar didakwa dengan empat perkara sekaligus. Yakni, suap Piala Adipura 2010, penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bekasi, serta suap kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan penyalahgunaan anggaran makan-minum. Total kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp 5,5 miliar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Temuan lain adalah kebersihan pura-pura. Di Pasar Minggu Jakarta Selatan, ada program pembersihan PKL yang berjualan di trotoar. Sayang, kegiatan positif itu hanya satu hari saja. Pada malam harinya, para pedagang bisa berjualan bebas tanpa ada larangan.
Rupanya, program bersih-bersih itu hanya untuk memuaskan juri penilai Adipura. Kebetulan, mereka memang menilai Pasar Minggu pada Senin (5/11) kemarin.
Aktivis Walhi DKI Jakarta Ubaidillah menilai, dua contoh kasus di atas menjadi gambaran bahwa penilaian Piala Adipura harus dievaluasi. Sebab, ajang tersebut yang dibuat sedianya untuk menambah motivasi kebersihan, kini berubah menjadi komoditas politik dan proyek.
"Sekarang cuma seremoni saja, proyek bagi pusat dan daerah," ujar Ubaidillah saat berbincang lewat telepon, Selasa (6/11/2012).
Proses penilaian yang terbuka, tak mendidik bagi daerah. Seharusnya sidak dilakukan secara rahasia, tanpa pemberitahuan apa pun.
"Saya kira ini perlu dievaluasi, walau sudah meningkat kriterianya," terangnya.
"Adipura harus mengacu pada model semacam Kalpataru, artinya yang harus diberi penghargaan orang atau kelompok yang berjuang sama lingkungan," sambungnya.
Lebih lanjut, Ubai mengingatkan agar ajang Adipura jangan sampai menjadi komoditas politik.
"Misalnya Jakarta dapat empat Adipura tahun lalu, bisa jadi menjelang Pilkada," imbuhnya.
(mad/nrl)