Terduga Teroris Agus di Mata Keluarga: Lugu, Sederhana & Tak Suka PNS

Terduga Teroris Agus di Mata Keluarga: Lugu, Sederhana & Tak Suka PNS

- detikNews
Minggu, 28 Okt 2012 15:23 WIB
Ilustrasi/dok detikcom
Jember - - Rumah bercat putih di Dusun Kepel, Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, Jember itu tampak lengang. Pintu depan maupun jendela tertutup rapat. Di samping kanan maupun kirinya, masing-masing ada tiga jendela. Kecuali jendela bagian tengah, semuanya juga tertutup rapat.

"Nggak ada orangnya. Sudah beberapa hari ini kosong. Penghuninya menginap di rumah anaknya," kata Satomar, pria tua yang rumahnya berada tepat di samping kanan rumah itu, Minggu (28/10/2012).

Di rumah bercat putih itulah Agus Anton Figian lahir, pada tanggal 15 Januari, 31 tahun silam. Pria yang ditangkap tim Densus 88 antiteror itu, lahir dari rahim seorang perempuan bernama Jariyatin. Ayah Agus bernama Idris atau lebih dikenal dengan nama Haji Hasan Basri. Dia meninggal dunia sekitar setahun yang lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dia itu anak lugu, kami semua tidak menduga. Sampai sekarang saya seolah tidak percaya. Rasa-rasanya seperti mimpi saja," kata Satomar yang juga paman dari Agus.

Dengan mata menerawang, lelaki berusia sekitar 60 tahun itu, seolah ingin membuka kembali kenangan ketika Agus masih berada di desa itu. "Masa kecilnya biasa saja, ya seperti anak-anak kebanyakan. SD-nya ya di dusun Kepel sini. Kalau sore dia ngaji bersama teman-temannya. Tapi dia tidak mondok," kenang Satomar sambil menarik napas panjang.

Sejak kecil Agus memang dikenal sebagai sosok yang pendiam. Karena dibesarkan di lingkungan keluarga petani desa, penampilan Agus juga penuh kesederhanaan. "Dia nggak pernah neko-neko. Nggak pernah minta yang macam-macam sama orang tua. Dia sepertinya ngerti bahwa ayahnya hanya seorang petani. Dia itu pokoknya....," kata-kata Satomar terhenti karena butiran air mata mulai membasahi pipinya.

Sambil mengusap air mata di pipinya, Satomar melanjutkan cerita, bahwa pendidikan Agus sedari SD hingga SMU, semuanya dijalani di Kecamatan Wuluhan. "Lulus SD dia melanjutkan ke SMP Muhammadiyah. Dia SMA-nya juga Muhammadiyah. Sekolahnya di sini, baru setelah lulus SMA dia keluar dari sini (Wuluhan, red) dan melanjutkan ke Unej (Univesitas Jember)," tutur Satomar.

Ketika duduk di bangku kuliah dan bergaul dengan kalangan terpelajar, tidak membuat sifat Agus berubah. Dia tetap menjadi sosok yang sederhana. "Awal kuliah, dia ke kampus naik sepeda ontel. Padahal jarak antara rumah dengan kampus Unej sekitar 30 kilometer. Kadang dia berangkat pukul 12 malam. Pernah saya tanya kenapa kok berangkat malam, dia jawab ada kuliah pagi. Saya tidak bisa bayangkan betapa capeknya dia ke kampus naik sepeda ontel, terus kuliah. Tapi dia tidak pernah mengeluh," papar Satomar.

Satomar mengaku tidak habis pikir, Agus yang dikenalnya sebagai pemuda pendiam dan sederhana itu, kini harus berurusan dengan polisi. Apalagi kasusnya cukup membuat orang merinding, yakni terorisme. "Ya itu tadi, saya sampai sekarang seperti mimpi," tambahnya.

Sementara menurut keponakan Agus, Wildana, menyatakan, meski tidak pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren, ilmu keagamaan Agus tertempa cukup baik. Apalagi ketika kuliah, Agus juga sempat masuk di organisasi ekstra kampus yang sering melakukan kajian keagamaan.

Meski demikian, Agus tidak menunjukkan pada tingkat yang terlalu ekstrim. Semua biasa saja. Tak ada yang menonjol dan membuat pihak keluarga curiga.

Namun, setahun belakangan ada sedikit perubahan pada penampilan Agus. "Dia yang dulunya klimis, mulai memanjangkan bulu janggutnya. Sebenarnya ya tidak masalah sih, tapi menurut saya ya aneh saja melihat mas Agus berjenggot," kenang Wildana.

Selain soal memanjangkan bulu jenggot, ada suatu peristiwa yang membuat Wildana juga sempat heran. "Waktu itu saya hendak ujian CPNS di Mahkamah Agung Jakarta. Saya sempatkan mampir ke rumah mas Agus di Madiun, karena teman saya yang ikut juga banyak dari Madiun. Ketika mas Agus saya beritahu saya mau tes CPNS, dia tampaknya kurang senang. Nggak tahu kenapa dia kok kayak benci ke negara dan pegawai negeri," ungkap Wildana.

Meski Agus sudah ditangkap tim densus 88 Antiteror, namun Wildana berharap Agus bukanlah teroris seperti yang disangkakan. Dia dan keluarga masih menaruh harapan besar, agar Agus dibebaskan dan tuduhan tentang terorisme itu tidak benar.

"Harapan kami ya mas Agus bisa bebas, dan tuduhan itu tidak benar. Saya yakin tidak ada satupun warga negara Indonesia ini, yang ingin keluarganya ditangkap gara- gara kasus terorisme. Kami sekeluarga terus berdoa demi kebaikan mas Agus," pungkas Wildana.

Bersama istri dan anaknya, Agus datang terakhir ke kampungnya 14 Oktober kemarin saat kakak kandungnya, Mohsinun, akan berangkat menunaikan ibadah haji. Agus yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme tersebut ditangkap di sebuah perumahan di Madiun, Jumat (26/10/2012).


(gik/try)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads