"Kasus ini menjadi bencana bagi dunia apoteker. Dengan tuduhan penggelapan bagi Yuli, maka apoteker tidak lagi mempunyai perlindungan hukum dalam menjalankan praktek kefarmasian yang pada akhirnya dapat mengganggu kelancaran pelayanan kefarmasian kepada masyarakat," kata Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) M Dani Pratomo saat mengadukan kasus ini ke Komisi Yudisial (KY), Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (26/9/2012).
Kasus ini bermula saat apotek tempat Yuli bekerja mendapat teguran dari Dinas Kesehatan Kota Semarang karena menjual narkotika dan psikotropika tanpa izin pada 2010. Lantas, pada 2011 apotek tempat dia bekerja masih menjual barang yang sama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kasus ini menampar profesi apoteker sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap obat-obatan. Dan kami mengharapkan pelajaran berharga agar masyarakat dan pemilik modal menghormati kode etik apoteker saat menjalankan profesinya," ujar Dani.
Setelah diproses hukum, Yuli mendapat vonis 4 bulan penjara dari PN Semarang pada 15 Agustus 2012. Majelis hakim memutuskan Yuli menggelapkan barang dalam jabatannya.
"Padahal barang tersebut hanya dititipkan ke Dinas Kesehatan Kota Semarang dan barang tersebut kini telah dikembalikan ke apotek. Sesuai pasal 50 ayat 1 KUHP, seseorang tidak bisa dihukum karena kewajiban perbuatan dari pekerjaannya," ujar kuasa hukum Yulis, Bambang Jaya Supeno, di tempat yang sama.
Menanggapi laporan ini, KY sebagai lembaga yang dibentuk konstitusi untuk mengawasi perilaku hakim berjanji akan melakukan investigasi, apakah ada perbuatan pelanggaran kode etik hakim atau tidak.
"Kami akan menindaklanjuti pengaduan ini. Tapi kami ingatkan ini bisa berjalan cepat atau lambat," ujar komisioner KY Suparman Marzuki.
Selain mengadu ke KY, Yuli dalam kasus ini juga mengajukan perlawanan hukum banding ke Pengadilan Tinggi Semarang.
(asp/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini