Lampu Merah Kalibata, Titik Kemacetan Baru di Jaksel

Jakarta - Pertigaan lampu merah Kalibata sudah setahun ini menjadi titik kemacetan baru di Jakarta Selatan di pagi hari. Dengan roda empat, butuh waktu 30-45 menit untuk menembus jalan sepanjang 1 km, tepatnya dari Kalibata City hingga lampu merah.

Denty, warga Pondok Bambu yang biasa lewat Jl Dewi Sartika - flyover Kalibata - Jl TMP Pahlawan Revolusi - lampu merah Kalibata- lalu belok kanan ke Jl Raya Pasar Minggu, menuturkan, sejak pukul 6 pagi kemacetan di lampu merah Kalibata sudah memanjang, padahal dulu pada jam segitu lalu lintas masih lancar. "Pembangunan hunian Kalibata City juga menambah tingginya volume pengguna jalan," ujarnya. Pada Rabu (19/9/2012), kemacetan parah juga terjadi.

Karena macet gila itulah, banyak pengguna jalan akhirnya mencari jalan pintas dengan masuk trotoar. Trotoar di sepanjang TMP Kalibata cukup lebar, sehingga mobil pribadi, angkutan umum (Kopaja 57 jurusan Cililitan-Blok M) dan Mikrolet M16 (Kp Melayu-Ps Minggu) serta pemotor, tumpah di jalur khusus pejalan kaki itu.

Karena tingginya penerobos trotoar, alhasil berjalan kaki di trotoar menjadi tidak nyaman. Pejalan kaki mesti melipir ke sisi paling pinggir.

Kemacetan di lampu merah Kalibata dipicu oleh tingginya volume kendaraan dari Jl Raya Pasar Minggu mengarah ke Pancoran yang untuk selanjutnya mengarah ke pusat bisnis jl MH Thamrin, Sudirman, Gatot Subroto dll. Jalan yang sempit tak mampu menampung aneka kendaraan. Hal ini berimbas kepada kendaraan dari Kalibata yang akhirnya terkunci hingga flyover. Durasi lampu merah di Kalibata juga lebih lama dibanding lampu hijaunya, untuk memberi kesempatan yang lebih panjang bagi kendaraan yang dari Jl Raya Pasar Minggu.

Tak banyak yang bisa dilakukan polisi untuk mengurai macet kecuali mengatur kendaraan agar mematuhi giliran bergerak sesuai traffic light.

Sebagian warga sekitar Kalibata menyiasati kemacetan di lampu merah Kalibata dengan berangkat jauh lebih pagi dan naik angkutan umum termasuk ojek. Titik kemacetan di Kalibata -- dan juga puluhan titik di tempat lain -- tentunya merupakan PR bagi gubernur Jakarta mendatang untuk mengatasinya. Mampukah?


(nrl/ndr)