βTapi kakek saya (sebetulnya) ingin saya ke Al Azhar, Mesir. Cuma, enggak tahu kenapa akhirnya saya malah dikirim ke Belanda, lalu ke Jerman. Jadi gubernur deh, enggak jadi ustad,β tutur Fauzi saat bertandang ke redaksi Detik, Kamis pekan lalu.
Dia merintis karier di birokrasi sejak 1972, setelah menjadi dosen di Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Di lingkungan pemerintah DKI, lelaki kelahiran Jakarta, 10 April 1948, ini pernah menjabat Kepala Biro Protokol dan Hubungan Internasional, Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta, Sekretaris Daerah, Wakil Gubernur masa Sutiyoso, hingga terpilih secara langsung menjadi gubernur.
Tanggal 20 September nanti menjadi penentuan apakah jabatannya sebagai gubernur dapat ia pertahankan untuk lima tahun ke depan atau harus menyerahkannya kepada Joko Widodo. Selama satu jam melakukan live streaming bertajuk βFauzi Bowo Berani Speak Upβ, dilanjutkan 60 menit berikutnya berbincang lepas dengan tim redaksi Detik, Fauzi dengan tangkas menjelaskan berbagai isu, tak cuma klaim keberhasilannya, tapi juga beberapa program unggulan yang akan diwujudkannya bila kembali dipercaya menjadi gubernur. Berikut ini petikannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anda merintis karier di pemerintah DKI boleh dibilang dari nol hingga sekarang menjadi gubernur, apakah enggak lelah?
Ini pertanyaan yang sedikit lucu. Menurut saya, kalau ditanyakan kepada amatir, barangkali tepat. Kalau ditanyakan kepada profesional, saya kira pertanyaan itu rada salah alamat. Tanya saja teman-teman jurnalis, capek enggak jadi jurnalis? Lelah enggak? Kalau Anda profesional, pasti jawabnya tidak, karena ini jalan pengabdian kita untuk bangsa dan negara.
Maksudnya, Anda tak tertarik untuk jabatan yang lebih tinggi?
Ada orang yang mulai beranak (sudah) kepingin jadi presiden, saya sih enggak. Saya ikuti jalur yang sudah ada saja. Karena ini bidang saya, ya alhamdulillah sampai titik puncak. Sebab, saya bersekolah dan belajar untuk jadi seorang planner, manajer, dalam planning. Saya juga mengikuti karier sebagai pamong, ya tentu saya bersyukur mendapat kesempatan jabatan puncak seperti ini. Saya kira enggak semua orang bisa.
Cita-cita Anda sebenarnya apa, sih?
Saya kepingin bermanfaat bagi hidup orang lain dan orang banyak, dan alhamdulillah itu terlaksana. Kalau ada yang enggak puas sih, enggak apa-apa karena itu hanya sejuta dari 10 juta orang.
Padahal, di Amerika, Turki, Thailand, dan Iran, setelah jadi wali kota atau gubernur, terus jadi presiden....
Enggaklah, saya ngurusin Betawi saja sudah cukup. Komitmen saya harus dipenuhi dengan baik daripada saya tidak bisa memenuhi komitmen dengan baik. Insya Allah.
Ngomong-ngomong, ada yang bilang Anda sebetulnya bukan Betawi tulen karena namanya Bowo, bukan Bewe....
Cek nomor satu, gimana mungkin kalau bukan orang Betawi bisa jadi Ketua Badan Musyawarah Betawi. Kedua, saya ini orang Betawi yang jujur pakai nama keluarga saya. Bapak saya orang Jawa, dari kecil sudah ada di Jakarta. Tapi, karena orang Jawa, ya pakai nama keluarga. Anak saya pun pakai nama keluarga, Bowo. Whatβs wrong with that? Yang penting hatinya, budayanya yang tepat.
Anda satu-satunya gubernur yang punya titel seperti B.J. Habibie, ing. Siapa yang mendorong Anda berkuliah di Jerman?
Dulu kakek saya yang salah. Kakek saya inginnya saya ke Universitas Al Azhar, Mesir. Cuma, pada saat itu enggak tahu kenapa yang satu ini (Fauzi Bowo) disuruh dikirim ke tempat yang lain sajalah. Dikirimlah ke Jerman. Jadi gubernur deh, enggak jadi ustad.
Bidang studi apa?
Saya arsitek, city planner, dan doktornya di engineering planner. Jadi memang, by education, (saya) mengetahui seluk-beluk planologi dan perencanaan tata kota.
Kampusnya di Aachen seperti B.J. Habibie?
Emang sekolah cuma ada Aachen saja. Ya, yang top memang Aachen. Itu tempatnya kayak Kampung Melayu. Kenapa? Karena dia dekat dengan negeri Belanda. Orang Melayu itu enggak bisa lepas dengan tempe dan nasi. Jadi Aachen itu paling banyak ada orang Indonesia. Pasti orang Indonesia pertama ke sana kumpulnya di Aachen.
Dulu, waktu Indonesia break hubungan dengan Belanda, banyak yang pada bergeser ke Jerman. Di Koeln, Muenchen, dan Aachen. Tapi saya enggak langsung ke kota-kota itu. Begitu lulus SMA, sebetulnya dicariin sekolah di Belanda. Tapi saya enggak mau, saya malah ikut demo di sini pada 1966 dan 1967. Tapi lama-lama capek juga. Terus berpikir, mau jadi apa gue. Jadi akhirnya berangkatlah ke Belanda.
Tapi, setelah di sana (Delf), saya pikir ini Belanda memang geblek juga, dari kecil gue di Belanda tapi sama saja. Saya pikir, sudahlah ke Jerman saja, jadi tambah bahasa asing satu lagi.
Mungkin karena tertarik ceweknya lebih cantik, ya?
Enggaklah, kalau yang begituan, di mana-mana ada saja. Ada yang lebih, ada yang kurang.
Ngomong-ngomong, Bu Tatiek itu dulu pacar ke berapa? Siapa yang kelepek-kelepek duluan?
(Tak langsung menjawab. Dia menyedot air mineral dan seperti berusaha mengingat-ingat). Kalau tanya itu, sudah lewat, offside namanya, ha-ha-ha.... Mau jawab jujur salah, mau enggak jujur juga salah. Udah, ah, lu pikir sendiri sajalah.
Soalnya, Bu Tatiek kan putri asisten pribadi Pak Harto, Sudjono Humardani. Nah, itu bagaimana pendekatannya?
Dia mah orang baik, jangan diomongin-lah. Yang kelepek-kelepek siape, yee? Enggak tahulah, kita udah banyak yang lupa juga, udah 38 tahun (kembali tertawa).
Kalau soal kumis, sejak kapan dirawat?
Saya, eh, kayaknya kira-kira 1974, sudah kembali ke sini. Pas nikah sudah pakai kumis sampai sekarang.
Terus merawatnya bagaimana, setiap berapa hari sekali?
Ya, sama kayak sikat gigilah, ha-ha-ha....
***
Selain memaparkan masalah pembenahan transportasi, Fauzi Bowo antusias menjelaskan upaya pembenahan permukiman kumuh yang kerap terjadi kebakaran, bantaran kali Ciliwung, hingga penataan pedagang kaki lima dan minimarket yang sudah masuk hingga pelosok.
***
Apa solusi untuk menata permukiman kumuh pascakebakaran?
Oke, saya mau tanya, pernah tahu kalau rumah susun di Tanah Tinggi itu kita bikin yang berasal dari kebakaran Tanah Tinggi pada 1980-an? Terus rumah susun Bendungan Hilir yang dibangun pada 2000-an juga begitu.
Saya punya beberapa opsi, kalau dimungkinkan bisa dibangun rumah susun, kami bangun. Saya sewakan tempat bagi mereka korban kebakaran, jadi mereka masuk. Tapi, kalau space dan tata ruang tidak memungkinkan, kami tawarkan kepada mereka pindah ke rumah susun di tempat lain.
Tapi banyak yang mengatakan tetap di tempat lama saja. Biar kumuh asal keren, ini kadang-kadang tidak bisa dipaksakan juga. Ada kawasan-kawasan tertentu yang kami rasa tidak mengganggu pihak-pihak di sekitarnya, maka kami bangun kembali. Seperti di jembatan Besi, Tambora, jadi semua opsi ini kami tawarkan kepada korban kebakaran.
Tidak coba melibatkan swasta?
Memang tidak ada resep yang paten untuk semua penyakit. Dalam kasus seperti ini juga sama. Kalau ada yang punya sertifikat hak tanah, saya akan kerja sama dengan CSR swasta, kami bangunkan rumahnya dengan sanitasi dan permukiman yang lebih baik. Contohnya juga di Jalan Lautze.
Saya juga ingin tekankan, sebetulnya pemerintah pusat harus punya ketegasan dalam kebijakan perumahannya. Untuk siapa kita membangunkan fasilitas perumahan itu. Jangan sampai kita mendirikan dan membangun fasilitas perumahan untuk target yang keliru. Contoh yang paling konkret, coba lihat rumah susun di seberang Bendungan Hilir. Mereka yang tinggal di situ apakah betul-betul target semula? Ternyata mutasinya sudah begitu dinamis sehingga barangkali 80 persen yang tinggal bukan orang yang seharusnya.
Di Kalibata juga begitu, kan. Rusunami itu kan dulu biayanya melalui KPR BTN. Berarti kan ada campur tangan pemerintah. Coba lihat sekarang siapa yang tinggal di situ.
Terkait dengan permukiman kumuh yang kerap terbakar, kenapa dipilih sepeda motor pemadam dengan harga yang sangat mahal?
Saya juga baca di Internet, saya suruh Inspektorat yang periksa. Silakan saja tanya sama inspektur saya. Bisa iya, bisa tidak, tapi yah jangan suuzon.
Sepeda motor itu menjadi tidak efisien karena tangki air tidak sesuai dengan ukuran gang yang sempit?
Di sini kita ngomong harus pakai standar. Ada gang di Jakarta yang untuk orang sekurus Anda saja buat lewat enggak muat. Kita kalau ngomong harus pakai standar, yang mana yang jadi standar. Termasuk yang kebakaran.
Anda tahu enggak di Tanah Sereal ada Kelurahan Kali Anyar, itu paling padat di DKI Jakarta. Pakai shift tidurnya, sekali-kali melanconglah ke sana. Ada yang giliran tidur pagi, ada yang malam. Yang paling menarik, dari pukul setengah 5 sampai setengah 7, itu Anda akan lihat antrean. Yang malam datang, yang shift pagi semuanya perlu ke WC. Sebetulnya kapasitas WC umum sudah diatur tapi antreannya jadi dua kali lipat panjangnya.
Sewaktu tender sepeda motor itu, sudah disurvei ukuran gangnya?
Saya berasumsi, yang namanya jalan, lebih lebar daripada 2 meter, itu yang saya tahu. Terkait dengan kebakaran ini, ada satu hal yang saya sayangkan adalah Balakar (relawan kebakaran). Efektivitasnya itu rendah, padahal kami latih cukup banyak orang. Kalau ada kebakaran diteriakin, βBalakarnya mana?βLagi mudik, Pak.β Yang repot begitu. Jadi komitmen dari pendukung sangat rendah. Jadi enggak bisa relai, padahal sudah kami latih di mana-mana.
Kalau soal hidran?
Ya, ini sama, kami minta Dinas Pemadam bikin master plan. Tahun ini berapa kita beresin, dalam tiga tahun, berapa diberesin.
***
Belum genap lima tahun mendampingi Fauzi Bowo, Prijanto meminta berhenti sebagai wakil gubernur. Alasannya, dia capek karena pikiran dan tenaganya tak pernah dihiraukan oleh sang gubernur. Namun permintaannya berhenti ditolak DPRD. Seolah-olah tak kapok, kali ini Fauzi kembali memilih calon wakilnya dari unsur TNI, Nachrowi Ramli.
***
Kenapa pilih Nachrowi?
Semua orang punya keterbatasan dan kita harus saling mengisi. Bersinergi dan saling mengisi. Saya menganggap Pak Nara adalah calon yang bisa bersinergi optimal kepada saya sampai lima tahun yang akan datang. Doakan saja ya, amin.
Anda yakin koalisi dengan partai politik besar bakal sampai ke masyarakat?
Begini, pemilihan umum daerah itu kan percaturan politik. Instrumen politik itu kan partai politik. Jadi gimana? Bahwa efektivitas dalam memenangi pemilu ini oleh sebagian pihak dipermasalahkan itu sah-sah saja. Saya sih bersyukur mendapat dukungan partai politik tadi. Dulu kalian bilang rasain tuh Fauzi dikeroyok orang banyak. Sekarang ape? Jadi kita bersyukur kepada Allah, semoga diberi jalan yang lapang ke depannya. Amin.
Dukungan koalisi yang begitu banyak bukan malah merepotkan. Kan tak mungkin ada dukungan yang gratis?
Siapa bilang? Itu mah pikiran Anda, bukan saya. Enggak ada itu, ada komitmen itu betul. Seperti yang disampaikan PKS, kita punya program yang kebetulan jurusannya sama. Seperti mengangkat harkat dan martabat warga Jakarta melalui pendidikan dan kesehatan. Itu saya bilang Hidayat Nur Wahid tidak jauh berbeda dengan apa yang saya rencanakan ke depan. Kami ingin jadikan kota yang aman, nyaman, dan kota yang dihuni orang-orang yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian itulah komitmen bersama dalam rangka ikhtiar memberikan kesejahteraan yang lebih baik dan jadi kota yang lebih maju bagi Jakarta.
Banyak yang menilai Anda angkuh dan sombong?
Banyak tapi bukan semua di Jakarta. Ya, barangkali itu karena mereka belum kenal saja. Nanti kita kenalan deh, biar lebih akrab lagi.
Bukan karena pengaruh sekolah di Jerman, Pak?
Saya malah lebih sering ngomong Betawi daripada ngomong Jerman. Mungkin dibilang angkuh karena yang di sebelah sana kagak tahu bahasa Jerman.
Artikel ini sudah dipublikasikan di Harian Detik, edisi Minggu (9/9/2012).
(asy/asy)