Bisnis Eks Teroris: Mengolah Bistik Oke, Potong Ayam Pun Jadi

Bisnis Eks Teroris: Mengolah Bistik Oke, Potong Ayam Pun Jadi

- detikNews
Rabu, 12 Sep 2012 13:09 WIB
Jakarta - Menjelang jam makan siang, belasan ibu-ibu bergaun batik satu per satu singgah ke Dapoer Bistik di pojok bundaran Jalan Kebangkitan Nasional 62 Penumping, Solo, Jawa Tengah, Rabu lalu. Menyusul kemudian empat lelaki paruh baya yang mengendarai sepeda motor.

Satu dari belasan ibu-ibu adalah Siti Iriani, 50 tahun, Kepala Sekolah Dasar Negeri Tegalmulyo 157, Banjarsari, Solo. Ia mengaku telah delapan kali mampir ke warung tersebut karena terpikat oleh rasa olahan makanannya yang mantap. Harganya tak terlalu mahal, para pelayannya pun tergolong cekatan dan ramah dalam meladeni setiap tamu. "Di sini, ibaratnya rasa kota tapi harga desa," kata Siti kepada Detik.
Sedangkan menurut Priyani, 30 tahun, sejawat Siti, suasana yang teduh antara lain membuatnya terpikat untuk berkali-kali bersantap di kedai yang baru dibuka Februari lalu itu. "Kami bisa selonjoran seperti di rumah," katanya.

Noor Huda Ismail, sang pemilik kedai, mengaku sengaja memilih bistik sebagai menu utama. Namun menu yang berasal dari Belanda ini dimasak dengan cita rasa Jawa yang menonjolkan bumbu rempahnya. Menu bistik, menurut dia, tak terlalu jauh dengan tradisi kuliner Jawa, yang juga mengenal bacem dan presto. "Jadi sebetulnya yang kami tawarkan adalah menu biasa. Hanya, standar kami perbaiki," ujar Huda, Rabu lalu. Standar yang dia maksudkan adalah cita rasa dan penyajiannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk memperbaiki cita rasa bistik, sebelum membuka kedainya dua tahun lalu, Huda, yang juga dikenal sebagai pengamat masalah terorisme, sengaja mengirim chef-nya untuk belajar di Hotel Sheraton Yogyakarta.

Huda juga mengundang salah satu koleganya yang juga seorang chef dari Austria, Christian Warta, untuk memberi pelatihan singkat. Hasilnya tidak mengecewakan.
Siti dan Priyani barangkali cuma terpikat oleh cita rasa dan harga serta suasana yang tercipta di kedai tersebut. Tapi, bila menelisik lebih jauh kedai yang diprakarsai Noor Huda Ismail bersama Yayasan Prasasti Perdamaian tersebut, mereka akan lebih takjub. Sebab, dalam keseharian, yang mengendalikan kedai tersebut adalah Joko Tri Harmanto alias Jack Harun, yang pernah menjadi tangan kanan teroris asal Malaysia, Noor Din M. Top.

Kedai itu merupakan pengembangan dari kedai serupa yang beroperasi di Semarang sejak dua tahun lalu, tepatnya di Jalan Kusumawardani Nomor 4-5. Di sini pengelolanya adalah Macmudi Hariono alias Yoseph Adirima alias Yusuf. Dia pernah divonis 10 tahun penjara dan mendekam di hotel prodeo selama lima setengah tahun karena menyimpan bahan peledak (bom), ribuan amunisi, dan sejumlah dokumen yang berkaitan dengan aksi terorisme di Jalan Taman Sri Rejeki Selatan VII/2 Kalibanteng Kidul, Semarang, pada 2003. Yusuf baru keluar bersyarat dari penjara pada 2009, dan pada Oktober nanti baru akan menjalani bebas murni.

Bersama Daniel Edy Prabowo, Wahzu Mendung, dan Widodo, ia dipercaya Noor Huda Ismail untuk mengelola bisnis resto bistik yang kini berkembang menjadi beberapa bisnis kuliner, seperti Dapoer Bakery, Kongkow Mie Ayam, dan Dapoer Bistik di Solo. Sebelum menekuni bisnis bistik, Yusuf berbisnis makanan Bebek Kendil di Semarang.
Mengelola bisnis tersebut membuat lelaki yang berpenampilan ramah, berbahasa luwes, dan suka bercanda itu merasa berharga dan dihargai masyarakat. Ia bisa bebas melayani tetamu dari berbagai kalangan, termasuk dari kepolisian dan kejaksaan.

“Dulu mereka yang memberi makan saya saat di penjara. Tapi sekarang saya yang justru melayani mereka. Itu membuat saya bangga,” katanya tentang para polisi dan jaksa yang pernah singgah di Dapoer Bistik.

***

Berbeda dengan Jack Harun dan Yusuf, sejak empat tahun lalu Rachmad, 47 tahun, memilih usaha pemotongan ayam di depan rumahnya, Cilangkap, Jakarta Timur.
Setiap hari ia mengaku bisa menjual 30-40 ekor ayam. Dengan mengambil keuntungan Rp 3.000 per ekor, minimal ia bisa mengantongi Rp 100 ribu setiap hari.

“Ya, sebetulnya belum mencukupi sih buat sehari-hari, apalagi istri saya terkena kanker serviks,” ujarnya.

Rachmad adalah mantan anggota Negara Islam Indonesia dan Jamaah Islamiyah. Pada 1987-1989, ia ikut berjihad di Afganistan. Pasca-bom Bali, Rachmad bersama 10 aktivis Jamaah Islamiyah lainnya ditangkap pada 2003 dan ditahan selama 10 hari. “Ya, saya kan cuma ikut jemaahnya saja, tidak aksinya (pengebomannya) karena enggak ada bukti juga,” ujar Rachmad.

Ia memulai usaha dengan modal Rp 10 juta dari mantan Kepala Detasemen Khusus88 Antiteror Polri Brigadir Jenderal Suryadharma Salim. Kesepuluh teman lainnya juga mendapatkan modal usaha dari Suryadharma dengan besaran berbeda. “Mereka ada yang membuka usaha kebab, bekam, herbal, dan sebagainya,” kata Rachmad tanpa bersedia memerinci identitas teman-temannya. Ia pun tak bersedia wajahnya didokumentasikan.

Enam bulan lalu, Rachmad mengikuti pembinaan yang dilakukan Nasir Abbas dan Forum Komunikasi Alumni Afghanistan-Indonesia. Di sana, ia masuk program deradikalisasi. “Biar orang enggak terus mengawasi saya dan keluarga. Biar mereka (pemerintah) percaya saya tidak akan melakukan macam-macam,” katanya.
Ketua Forum Komunikasi Alumni Afghanistan-Indonesia Ahmad Sajuli juga pernah membuka kios kebab di salah satu fakultas di Universitas Indonesia. Tapi kalangan mahasiswa yang menjadi target konsumennya tak merespons dengan baik. “Ya, akhirnya ditutup. Itu sudah risiko saya,” ujarnya.

Nasib serupa dialami mantan Ketua Mantiqi III Nasir Abbas. Ia harus menutup usaha rumah makannya di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Penulis novel komik Kutemukan Makna Jihad itu mengaku konsentrasinya terpecah karena harus memenuhi berbagai undangan seminar di banyak tempat. “Sudah tidak terpegang, ya sudah, ditutup saja,” katanya.

***

Cap mantan teroris yang telanjur melekat tentu tak bisa dihilangkan begitu saja. Tak jarang Yusuf masih merasa mendapat tatapan tajam curiga dan seperti merasa dimata-matai, apalagi ketika terjadi ledakan di tempat tertentu.
“Butuh keberanian tersendiri tampil terbuka di masyarakat. Juga ketekunan agar kehadirannya benar-benar dihargai tanpa rasa curiga, apalagi selalu dimata-matai,” kata Noor Huda.

Ia tergerak membantu para mantan teroris atau jebolan dari Afganistan setelah teman sekamarnya terlibat bom Bali pada 2002. Noor Huda menolak istilah deradikalisasi seperti yang dijalankan pemerintah dan beberapa lembaga lain. Ia memilih istilah disengagement, karena perlunya kesadaran individu dalam melepaskan diri (disengaged) dari mindset dan perilaku kekerasan. Istilah deradikalisasi, kata dia, relatif kontraproduktif karena menjadi radikal, berpikir radikal, dan berpikir kritis pada dasarnya bagus. Tapi menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan bagi pemikiran radikal itulah yang tidak bagus.

Pendekatan kepada para mantan teroris lewat jalur kuliner ini, menurut Noor Huda, dirasa lebih tepat. Sebab, terjadi interaksi sosial yang intens dan bersifat plural. Ia mengaku pernah membina seorang mantan teroris untuk berbisnis tambak. Tapi, karena interaksi yang terjalin hanya dengan ikan, otomatis tidak terjadi pencerahan wawasan. Akhirnya, dengan mudah dia tergoda kembali ketika ada seniornya meminta bantuan. “Dia memberikan bantuan dan akhirnya terendus Densus, lalu ditangkap kembali,” kata Noor Huda. (Kustiah, Tia Agnes, Sudrajat)

Artikel ini telah dipublikasikan di Harian Detik edisi Minggu (9/9/2012).

(asy/asy)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads