Seperti dituliskan Fadli Zon dalam buku 'Hari Terakhir Kartosoewirjo' yang dikutip detikcom, Jumat (7/9/2012), niatan Kartosoewirjo untuk melakukan deklarasi kemerdekaan ini sebenarnya sudah dia niatkan pada Agustus 1945. Tanggal 14 menjadi pilihan.
Saat itu, Kartosoewirjo sudah meminta dukungan sejumlah pemuka agama Islam untuk memproklamirkan Negara Islam Indonesia. Tetapi, saat itu banyak yang menolak karena Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah membuat draf Undang-undang Dasar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keinginan Kartosoewirjo untuk memproklamirkan NII tertunda hanya 4 tahun. Hingga kemudian pada 1949, cita-citanya mendirikan NII pun terpenuhi. Kartosoewirjo memanfaatkan momen perjanjian Renville. Sesuai kesepakatan Renville yang mengacu pada perundingan Linggarjati, wilayah NKRI hanya Jawa, Madura, dan Sumatera. Jawa Barat harus dilepaskan.
Pasukan TNI dan keluarganya pun banyak yang hijrah dari kawasan itu yang kemudian berujung pada tindakan Kartosoewirjo merealisasikan NII.
"Kartosoewirjo dan kawan-kawannya tetap tinggal di Jawa Barat dan juga daerah di luar Jawa Barat. Mereka berhimpun dan berkumpul mengkonsolidasikan kekuatan mendirikan NII," jelas Fadli.
Langkah Kartosoewirjo itu pun langsung direspons TNI. Cap pemberontak dari Pemerintah RI saat itu disematkan pada Kartosoewirjo dan anak buahnya. Operasi penumpasan gerakan NII segera dilakukan.
Kartosoewirjo awal-awal gerakannya sempat menuai dukungan dari sejumlah ulama di Jawa Barat, namun pada akhirnya dukungan mengendur. Gerak langkah kelompoknya pun terbatas. Pada 1962 dia ditangkap di Majalaya, Jabar.
Kartosoweirjo didakwa melakukan sejumlah kejahatan politik yakni melakukan pemberontakan dan makar, serta hendak membunuh presiden. Vonis mati diberikan bagi Kartosoewirjo. Presiden RI saat itu, Soekarno, yang juga sama-sama murid Tjokroaminoto menolak memberikan grasi bagi Kartosoewirjo.
"Soekarno yang kawan lama Kartosoewirjo menolak memberikan grasi terhadap teman karibnya itu, dengan alasan tak ada dasar argumentasi mengabulkannya," tulis Fadli dalam bukunya.
Pada September 1962, lewat 81 foto eksekusi Kartosoewirjo yang ada di buku Fadli Zon terpapar proses hukuman mati oleh regu tembak di Pulau Ubi di Kepulauan Seribu. Sang imam DI/TII itu rebah dengan 5 peluru di dada kiri.
(ndr/vta)











































