Gerakan pemberontakan yang dilakukan Kartosoewirjo dengan membentuk Tentara Islam Indonesia (TII) pun saat itu cukup merepotkan. Hingga akhirnya pada 1962, Kartosoewirjo di bulan Juni ditangkap Divisi Siliwangi di Garut. TNI melakukan operasi pagar betis guna menangkap Kartosoewirjo.
Seperti ditulis Fadli Zon dalam bukunya 'Hari Terakhir Kartosoewirjo' disebutkan bahwa kekosongan pasukan TNI di Jawa Barat yang terpaksa hijrah, menyusul kesepakatan Renville pada 1949 dengan Belanda, membuat Kartosoewirjo berani memproklamirkan diri berdirinya NII. Kartosoewirjo beranggapan terjadi kekosongan kekuasaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mundur ke belakang, seperti ditulis Fadli Zon yang juga pengajar di UI ini, dalam rekam jejak politiknya, Kartosoewirjo dekat dengan Tjokroaminoto pendiri Partai Serikat Islam Indonesia yang dijuluki sebagai 'Raja Jawa tak bermahkota' oleh Belanda. Kartosoewirjo merupakan sekretaris pribadi Tjokroaminoto dan kerap ikut berkeliling Pulau Jawa.
Dekat dengan Tjokroaminoto membuat Kartosoewirjo lebih dalam mengenal ajaran Islam. Dia pun banyak mendalami alquran dan hadist. "Tapi ia tak pernah belajar Islam ke luar negeri, bahkan tak sempat naik haji," tulis Fadli.
Kegiatan dengan Tjokroaminoto ini diduga mempertemukan Kartosoewirjo dengan Soekarno. Dalam buku yang ditulis Cindy Adams, Soekarno mengaku bertemu dan bekerja sama dengan Kartosoewirjo pada 1918. Kemudian keduanya juga pernah tinggal dan makan bersama di Bandung.
Sedang Kartosoewirjo mengaku bertemu pertama kali dengan Soekarno pada 1927 di Cimahi dalam kegiatan PSII. "Mereka menjadi kawan karena Soekarno juga murid Tjokroaminoto," tulis Fadli.
Namun, bertahun kemudian jalan politik yang diambil berbeda. Kartosoewirjo menggalang kekuatan dan mendirikan Negara Islam Indonesia. Soekarno yang menjadi presiden, memerintahkan penangkapan Kartosoewirjo yang dicap pemberontak.
Kartosoewirjo menggalang kekuatan pasukan laskar Hizbullah dan Sabilillah yang kemudian menjelma menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Kartosoewirjo yang pernah menjadi wartawan di harian Fadjar Asia dengan posisi wakil pemimpin redaksi ini akhirnya pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Tasikmalaya memproklamirkan berdirinya NII.
Hingga kemudian bertahun-tahun Kartosoewirjo dan kelompoknya menjadi buruan TNI. Pada Juni 1962 dia dibekuk di Garut.
Kartosoewirjo didakwa melanggar pasal-pasal berlapis yaitu pasal 107 ayat 2, 108 ayat 2, dan 104 juncto pasal 55 KUHP, juncto pasal 2 PENPRES No.5 tahun 1959 yang dimuat dalam lembaran negara No 80 tahun 1959.
Fadli menulis setidaknya ada tiga kejahatan politik yang disangkakan pemerintah pada Kartosoewirjo. Pertama, memimpin dan mengatur penyerangan dengan maksud hendak merobohkan pemerintahan yang sah. Kedua, memimpin dan mengatur pemberontakan melawan kekuasan yang telah berdiri dengan sah yaitu Republik Indonesia. Dan ketiga, melakukan makar pembunuhan terhadap presiden yang dilakukan secara berturut-turut dan terakhir dalam peristiwa 'Idul Adha'.
"Pada 16 Agustus 1962, pengadilan militer menjatuhkan vonis mati bagi Kartosoewirjo. Dalam proses pengadilan itu, dia juga membantah tuduhan kedua dan ketiga. Kartosoewirjo mengatakan bahwa tuduhan upaya membunuh presiden Soekarno hanya isapan jempol belaka," tulis Fadli.
Kartosoewirjo pun sempat meminta grasi kepada Soekarno. Namun, saat itu Soekarno langsung menolak. Soekarno menyatakan menandatangani hukuman mati bukan suatu kesenangan.
"Sungguhpun demikian seorang pemimpin harus bertindak tanpa memikirkan betapapun pahit kenyataan yang dihadapi," tulis Fadli mengutip buku Cindy Adams.
Kartosoewirjo dieksekusi regu tembak pada 12 September di Pulau Ubi. Dia pun kemudian dimakamkan di sana.
(ndr/vit)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini