"Dari kasus penangkapan kali ini, membuka pandangan dan meneguhkan keyakinan kita bahwa ada korelasi antara putusan bebas para koruptor dengan perilaku hakim tercela. Selama ini sering kita dengar bahwa penyebab putusan bebas adalah dakwaan yang buruk," kata mantan Plt pimpinan KPK Mas Achmad Santosa, dalam pernyataannya, Sabtu (18/8/2012).
Pria yang akrab disapa Ota ini berharap dalam proses persidangan nanti bisa terungkap secara jelas dan gamblang, apakah ada korelasi putusan bebas dengan perilaku korup hakim.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di samping Semarang, tempat berdinasi dua hakim itu, Ota menengarai ada beberapa yurisdiksi yang kini menjadi pengadilan favorit terdakwa koruptor. "Pengadilan itu perlu pengawasan ekstra," jelas Ota.
Ota juga menggarisbawahi beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian pasca penangkapan ini:
1. Rekrutmen hakim ad hoc kelihatannya belum mampu melahirkan hakim-hakim ad hoc yang diharapkan, sehingga perlu dibenahi. Sebelum proliferasi (pemekaran) Pengadilan Tipikor, hakim-hakim adhoc menjadi andalan masyarakat karena integritasnya.
Itu bisa terjadi karena pada saat itu proses rekruitmennya yang ketat dan jumlahnya yang sedikit memudahkan pengawasan.
2. Kebijakan proliferasi (pemekaran) perlu dikaji ulang. Sebelum kita siap dengan pengawasan dan sistem integritas yang prima, sangat berisiko memperkenalkan kebijakan pemekaran pengadilan Tipikor.
3. Perlu penguatan sistem dan perangkat pengawasan hakim-hakim Tipikor ini, seperti pemasangan alat rekaman selama persidangan dan transparansi putusan pada setiap putusan perkara Tipikor secara real time. Dengan cara ini, masyarakat langsung dapat menilai apabila ada kejanggalan dalam putusan.
4. Perlu dilakukan pengujian ulang hakim-hakim Tipikor baik yang adhoc maupun karir.
5. Cukupi kesejahteraan mereka. Sehingga dalam menjalankan tugas mereka hanya konsentrasi pada perkara dan melaksanakan kewajiban melahirkan putusan yang baik.
(trq/ndr)