"Memang tidak semua penegak hukum (bermain), tapi tidak bisa dipungkiri itu memang masih ada," kata Fauzi saat berbincang dengan detikcom, Kamis (9/8/2012).
Kegundahan hati Fauzi dituangkan dalam sebuah buku berjudul 'Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro'. Meski sebagai hakim, dia tidak risih mengakui jika di institusinya masih ada jual beli perkara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Buku terbitan Leutikaprio yang berpusat di Yogyakarta ini, memiliki tebal 145 halaman dan berisi kumpulan artikel Fauzi yang terserak di berbagai media massa. Kemudian dikumpulkan berdasarkan tema yang senada hingga akhirnya menghasilkan tiga pokok pembahasan.
Bab I buku tersebut menyoroti problem pemberantasan korupsi. Bab II menelaah ekspektasi publik terhadap integritas dan kualitas hakim yang membumbung tinggi. Bab III menyajikan berbagai problematika hukum keluarga dan aspek hukum lainnya. Termasuk skeptisisme pelaku ekonomi terhadap kapabilitas hakim agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah.
Buku ini telah diluncurkan di internal lembaga peradilan agama dalam rangka memperingati 130 tahun hari jadi Pengadilan Agama beberapa waktu lalu.
"Saat bicara permasalahan perkara di pengadilan, maka orang akan berpikir, wani piro?" ujar Fauzi.
"Kosakata wani piro itu untuk menggambarkan takaran harga diri hukum juga autokritik terhadap penegak hukum supaya introspeksi sebelum dikoreksi oleh publik," tandas Fauzi.
'Wani Piro' atau yang berarti 'Berani Bayar Berapa' selama ini menjadi sindiran di kalangan penegak hukum. Belakangan juga menjadi tagline iklan rokok yang wira-wiri tayang di televisi.
(asp/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini