Sayang, sepak terjang mereka masih parsial dan belum banyak dirasakan oleh negerinya sendiri. Atas dasar itulah, Dino Patti Djalal sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat memprakarsai sebuah pertemuan akbar di antara mereka, yang disebut Kongres Diaspora Indonesia, di Los Angeles, pada 6-8 Juli lalu.
Dia berharap orang-orang yang berkumpul bisa saling menularkan kelebihan masing-masing. βSaya melihat diaspora ini bisa menjadi jembatan penduniaan budaya Indonesia,β ujarnya dua jam sebelum peluncuran buku ke-8 yang disuntingnya, Life Stories, Resep Sukses dan Etos Hidup Diaspora Indonesia di Negeri Orang, di Hotel Grand Hyatt, Rabu malam lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepada Yophiandi dan Sudrajat dari Harian Detik, yang menemuinya selama satu jam, Dino menyampaikan pandangannya:
Bagaimana Anda punya ide untuk menggelar Kongres Diaspora Indonesia?
Simpel. Sejak menjadi Duta Besar untuk Amerika Serikat, saya langsung berkeliling bertemu dengan masyarakat Indonesia di sana. Ternyata, saya menemukan diaspora Indonesia, yaitu warga negara Indonesia dan orang keturunan Indonesia yang sudah menjadi warga negara asing, tapi masih cinta kepada Indonesia. Mereka masih punya ikatan emosional dan ingin melakukan sesuatu yang lebih. Tapi mereka masih menunggu sinyal dari Indonesia.
Maksudnya sinyal itu...?
Jadi selama ini mereka menunggu karena belum ada uluran tangan yang terbuka. Bahkan, untuk yang WNA, mereka merasa kalau pulang ke Indonesia diperlakukan seperti orang asing beneran. Karena itu, saat Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono) menyampaikan pidato via video, mereka menangis, terutama yang sudah 30 tahun lebih tinggal di Amerika dan negara-negara lainnya. Di situ Presiden menyatakan, βTak boleh satu pun orang Indonesia yang pulang ke kampung halamannya diperlakukan seperti orang asing.β
Sebetulnya karakteristik mereka seperti apa?
Profil orang Indonesia di luar negeri itu jauh berbeda dengan yang sering kita baca di media massa di Tanah Air. Kan selama ini yang sering kita dengar orang Indonesia di luar negeri itu dipukul, dianiaya, dan cerita-cerita miring lainnya. Itu benar ada, tapi jauh lebih luas ternyata mayoritas orang Indonesia di luar negeri itu orang sukses, entrepreneur, dan inovator.
Dari situlah saya tergugah untuk mengadakan kongres yang mempertemukan komunitas tersebut. Sebab, mereka tak saling kenal satu sama lain. Ada yang dari diaspora New York, Texas, Qatar, Eropa, Australia, Cile, Kaledonia Baru, Mauritius, dan sebagainya. Jadi tujuan utama dalam jangka pendek itu bagaimana mempertemukan mereka agar saling mengenal dulu sehingga nantinya bisa menjadi satu komunitas besar.
Berapa lama persiapannya?
Saya jujur, sempat deg-degan, apa mungkin 2.000-an orang yang datang dari beragam negara, dengan bahasa yang berbeda-beda, akan mau berkomunikasi. Atau justru mereka akan saling menjaga jarak. Sebab, persiapan acara ini tergolong singkat sekali, lo, cuma empat bulan dengan melibatkan perwakilan RI di negara-negara lain. Juga minta bantuan dari diaspora yang kita kenal untuk menggalang diaspora lain.
Tapi, alhamdulillah, asumsi kami benar. Ternyata, tanpa harus diperkenalkan, mereka dengan sendirinya berpelukan, saling memperkenalkan diri masing-masing. Rasa kebatinan mereka tidak pernah hilang. Dari proses itu akan timbul identitas komunitas yang besar.
Apa garansi pemerintah terhadap mereka?
Pertama, kita harus menunjukkan perubahan paradigma. Selama ini pendekatan yang digunakan terlalu kaku dan legalistis. Kalau Anda WNI, semua urusan surat dibantu, tapi kalau sudah berstatus WNA, masa bodoh. Nah, ke depan ini tidak boleh lagi. Itu tidak benar, karena dunia sudah berubah.
Sesuai dengan pesan Presiden, kita harus mengedepankan pendekatan kultural dan silaturahmi. Jadi, ke mana pun mereka pergi, pekerjaan dan statusnya apa, mereka tetap menjadi bagian dari keluarga besar Indonesia.
Konkretnya dalam tahap awal?
Kemudahan visa. Kalau India sudah berani seumur hidup, ya, kita mungkin belum seekstrem itu. Tapi akan ada kemudahan yang, mudah-mudahan, bisa diwujudkan dalam waktu dekat. Di Kementerian Luar Negeri akan ada desk khusus yang mengurusi masalah diaspora.
Direktorat Perlindungan WNI yang dalam setahun mengurusi 200 masalah, misalnya, diaspora itu ada sekitar 10 juta. Jadi memang perlu ada kelembagaan yang lebih responsif terhadap mereka.
Di masa mendatang, diaspora Indonesia bisa membentuk semacam pecinan di banyak negara, ya?
Besar sekali kemungkinan ke arah itu. Tapi begini, yang perlu didorong itu semangat entrepreneurship di kalangan diaspora. Kalau ini terjadi, bisa luar biasa. Salah satu contoh saja, berdasarkan poll CNN tahun lalu, makanan terenak di dunia itu kan dari Indonesia, yaitu rendang dan nasi goreng. Tapi, di Amerika, restoran Indonesia kelas atas cuma ada satu, punya Pak Yono di Albania. Artinya, ini menunjukkan kita kurang entrepreneur. Ini salah satu isu yang dibahas dalam Kongres Diaspora.
Contoh lain, di Washington, DC, ada profesor Indonesia yang berhasil memasukkan pencak silat ke kurikulum di universitas di situ. Padahal di Indonesia saja tidak masuk kan? Lalu di Chicago, itu guru-guru diajari membatik, dan batik bisa masuk dalam sistem pendidikan lokal di Amerika.
Belum lagi soal gamelan. Di Amerika itu banyak sekali, lo, komunitas pencinta gamelan. Kalau ada acara-acara party gitu, iringan musiknya gamelan. Ini luar biasa. Dari situ saya melihat diaspora ini bisa menjadi jembatan penduniaan budaya Indonesia.
Maksudnya?
Jadi tujuan lain pertemuan diaspora ini, bagaimana agar orang yang hebat di satu bidang itu bisa menularkannya kepada komunitas di tempat lain sehingga terjadi replikasi yang massal.
Bagaimana dengan yang tinggal di luar negeri lebih karena alasan politik?
Pertanyaan yang sangat menarik, ya. Tapi jujur, saya belum berpikir ke arah sana. Ini lebih bersifat nonpolitik, untuk investor, budayawan, dan peneliti. Jadi mungkin kalau ada yang terkait dengan politik, memang masalahnya lain lagi. Diaspora ini lebih pada good will terhadap Indonesia. Jadi tidak berurusan dengan politik yang dari zaman Sukarno dan gerakan pada pertengahan 1960-an.
Tapi dari peristiwa itu kan banyak yang cuma terkena stigma?
Saya belum dalam posisi untuk memberikan jawaban atas masalah tersebut. Saya tahu maksud Anda, ya....
Padahal sudah diupayakan sejak era Presiden Abdurrahman Wahid....
Ya, ya, ya, yang jelas saya yang ini dulu. Lebih ke pendekatan kebudayaan dan ekonomi dulu.
Bagaimana dengan pelibatan Pak Chairul Tandjung di Kongres Diaspora?
Karena dia adalah ketua ekonomi nasional dan juga memahami soal diaspora. Setelah dari LA, beliau bertemu dengan sejumlah inovator dan pakar IT Indonesia yang bekerja di Silicon Valley. Ada sekitar 200 orang yang bertemu dengan beliau. Jadi dia tahu diaspora merupakan power yang luar biasa, kalau perlu kita tarik kembali ke Indonesia. Selain Pak Chairul, ada Ibu Mari Pangestu dan Bapak Muhammad Nuh.
Pelibatan itu bukan terkait dengan isu 2014 atau 2019?
Komunitas ini murni jauh dari politik. Saya peka sekali akan perlunya menjaga diaspora ini jauh dari politik. Dari delegasi parlemen, ada 10 orang perwakilan yang berasal dari berbagai komisi dan partai politik.
***
Selama dua tahun menjadi duta besar, banyak sekali aktivitas besar yang dilakukan Dino bersama staf di Kedutaan Besar RI di Washington. Dia menggelar festival angklung yang diikuti ribuan warga Amerika, festival batik, hingga mendatangkan bintang sepak bola Inggris yang tengah bermain di klub Amerika, David Beckham.
***
Anda sudah menyiapkan semua program itu di Tanah Air?
Sebagian besar ide, seperti mendatangkan Beckham, datang di lapangan. Sewaktu menjalani fit and proper test di DPR, memang saya sampaikan akan mencoba membuat KBRI kita ini menjadi KBRI yang paling inovatif di dunia. Untuk itu, kita harus berpikir di luar kotak, berani tampil beda, berani mengeksplorasi ide-ide baru, dan punya nilai jual. Alhamdulillah, hasilnya cukup baik.
Padahal waktu saya di Amerika pada 2000, posisi kita itu terpuruk. Saya bicara apa saja tak didengar, diremehkan. Karena kita waktu itu ada masalah Ambon, Aceh, ekonomi morat-marit, krisis politik, dan sebagainya. Jadi susah sekali Indonesia bisa bersinar. Tapi beberapa waktu belakangan berangsur baik. Kita bisa masuk G-20, demokrasi di Tanah Air sudah stabil, dan ekonomi membaik. Nah, dengan kondisi itu, saya ingin bila orang Amerika bicara tentang Asia, tak cuma merujuk ke Jepang, Cina, India, tapi mereka juga harus bicara Indonesia.
Bagaimana merawat kesinambungan yang telah dicapai ini?
Yang penting, keterbukaan pada ide-ide baru. Saya senang sekali mendengar masukan dari berbagai pihak. Saya tidak pernah merasa benar sendiri. Dalam satu organisasi, ide bisa datang dari siapa pun. Kadang the best idea datang dari saya pribadi, staf, ataupun bawahan lainnya.
Prinsipnya, dalam diplomasi, fondasi harus kuat dan tak boleh cuma bersandar kepada individu. Bahwa sekarang kita punya ikatan emosional dengan Presiden Obama, ya, kita harus manfaatkan dengan optimal. Tapi tetap harus berdasarkan kepentingan bersama yang kuat, karena Obama kan tidak selamanya.
Selain itu, politik luar negeri Indonesia itu tak cukup lagi bebas dan aktif, tapi harus kreatif, yang akan memberi nyawa pada diplomasi. Selalu mencari peluang, berani ambil risiko, lakukan hal baru.
Semua itu sudah masuk kurikulum pendidikan calon diplomat kita selama ini?
Memang perlu direformasi. Kurikulumnya tidak menekankan aspek lobi dan networking. Tak diajari bagaimana melobi orang, merayu, mendekati, dan menjadi mitra dan kawan dekat kita. Pengetahuan tentang dunia penting, tapi lobi dan networking jauh lebih penting. Salah satu kunci sukses saya itu lobi dan networking. Satu network itu menciptakan sejumlah peluang.
Orang sukses bisa karena kemampuan melobi. Networking juga merupakan hal yang sangat penting, karena satu network menciptakan sejumlah peluang untuk berkembang. Contohnya saja, Kongres Diaspora ini bisa zero budget karena kita mendapat dukungan dari banyak pihak.
Tapi repotnya juga kalau rekrutmen masih ada nepotisme?
Sudah tidak ada. Saya tahu karena ada putra seorang petinggi kementerian yang sempat dua kali tak lulus.
Kalau untuk penempatan di luar negeri masih, ya?
Ya, kalau itu, sih, lebih pada penilaian atasan apakah si A itu bagus, atau lebih tepat di mana. Saya tak melihatnya sebagai sebuah nepotisme.
Apa diplomasi budaya berikutnya?
Kami akan mengadakan kompetisi dangdut goes to America. Jadi para artis dangdut di Tanah Air akan berkeliling ke sejumlah kota di Amerika seusai Lebaran nanti. Siapa saja mereka saya belum bisa sebut, tapi urusan administrasi sepertinya sudah beres.
Anda lebih senang menjadi juru bicara Presiden atau duta besar?
Dari segi jam kerja, sebagai diplomat saya lebih punya banyak waktu dengan keluarga. Sekarang saya sesekali masih bisa meluangkan waktu mengantar dan menjemput anak-anak ke sekolah. Kalau dari segi tempo kerja, jauh lebih tinggi di Istana sebagai jubir Presiden. Istri, sih, selalu menerima dan mengerti tugas yang saya jalankan. Tapi, saat menjadi jubir Presiden, anak-anak selalu bertanya kenapa jarang di rumah. Karena itu, ini saatnya saya membayar utang sama anak-anak. Saya menjadi pelatih tenis untuk Keanu, yang cewek latihan balet dan piano.
Ada yang bilang Anda sukses di Amerika karena seperti pulang kampung. Bagaimana kalau Anda ditempatkan di Timur Tengah?
Saya berpedoman pada ilmu berlian, ditaruh di lumpur, air kotor, ya, tetap berlian. Jadi saya disuruh ke mana pun oke, yang penting kita kreatif.
Artikel ini telah dipublikasikan di Harian Detik edisi 22 Juli 2012. Anda juga bisa membaca artikel lainnya:
- Jatuh Cinta Saat Berpidato
- Terpukau Pidato Bung Karno
(nrl/nrl)