"Saya baru ambil di Jakarta kemarin, sampai di Jakarta Jumat dini hari," kata Koordinator Pendidikan Non-Formal di Sabah, Teguh Wiyono kepada detikcom di Wisma Indonesia, Kinabalu, Sabah, Malaysia, Jumat (27/7/2012).
Proses pengambilan tersebut bukan perkara mudah. Yaitu setelah berkali-kali Konsulat Jenderal RI (KJRI) Sabah meminta ijazah dengan cara baik-baik dan menemui jalan buntu. Bahkan sempat dirapatkan dengan mediasi Kemenpora pada Maret 2012.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mendapati kutipan yang cukup mahal ini, Teguh menantang untuk dibuatkan bukti pembayaran. Oknum tersebut pun takut dan tidak berani. Tetapi proses menjadi sangat lama.
"Saya tongkrongi kantor Sudin di Gedung Walikota Jaksel dari pagi. Menjelang sore baru dapat. Langsung saya bawa ke Sabah," kisah ayah 3 anak ini.
Saat memasuki pesawat dia juga sempat khawatir karena lembaran ijazah itu dimasukkan ke bagasi. Teguh tidak pernah membayangkan apabila kardus berisi masa depan anak-anak TKI tersebut hilang.
"Pas turun dan menunggu pengambilan bagasi, saya sudah dag-dig dug. Kok lama-lama nggak keluar. Ternyata keluar paling akhir. Alhamdulillah," cerita Teguh menghela nafas.
Kini ratusan ijazah tersebut telah disimpan di SD Indonesia di Kinabalu. Rencananya pekan depan akan didistribusikan ke seluruh orang tua anak didik. Namun masalah masih timbul.
"Masih banyak yang fotonya belum dipasang. Terpaksa saya akan kembalikan lagi ke Jakarta kalau begini. Ya mau bagaimana lagi," hela Teguh.
Para anak TKI ini sekolah di LC yang tersebar di berbagai tempat di penjuru Sabah. Umumnya mereka anak-anak TKI yang bekerja di perkebunan sawit. Sistem belajar LC ada dua yaitu kelas full day dan kelas 2 hari seminggu. LC ini difasilitasi oleh KJRI dengan tenaga pengajar dari Depdikbud, LSM dan relawan.
(asp/ahy)