"Sudah dibayar secara sukarela oleh Singapore Airlines sebesar Rp 1,5 miliar sesuai putusan MA," kata kuasa hukum Sigit, Arsul Sani, saat berbincang dengan detikcom, Kamis (19/7/2012).
Menurut Arsul, pembayaran tersebut dilakukan tiga pekan lalu tanpa syarat apa pun. Salah satu maskapai penerbangan terbaik di dunia ini hanya meminta Sigit tidak menuntut lagi terkait kecelakaan tersebut karena sudah dibayar. "Ini bukan kemenangan Sigit tetapi menjadikan momentum dan pembelajaran bagi maskapai penerbangan kita dan putusan yang menguatkan hak-hak konsumen," papar Arsul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selama ini berdasarkan Konvensi Warsawa, orang yang luka hanya mendapatkan ganti rugi biaya pengobatan. Dengan putusan ini maka luka psikologis pun bisa mendapat ganti rugi," bebernya.
Dia berharap kasus ini juga bisa berlaku di penerbangan domestik sebab Amerika Serikat juga telah menerapkan hal tersebut ke penerbangan dalam negeri. "Apa bedanya Jakarta-Papua yang lamanya terbang sama dengan kita ke luar negeri? Kok tidak memberlakukan Konvensi Warsawa?" ujar Asrul.
Terkait lamanya proses ganti rugi, dia mengakui ada kendala dalam sistem hukum Indonesia. Sebab sistem peradilan di Indonesia yang mengharuskan hal tersebut berjalan lama. "Semoga dalam revisi UU Angkutan Penerbangan ada pemotongan sistem perdata, tidak perlu sampai 3 tingkatan, cukup 2 tingkat saja supaya tidak terlalu lama," kata Asrul berharap.
Kasus tersebut bermula saat Singapore Airlines menjelajahi rute penerbangan Singapura-Los Angeles pada 31 Oktober 2000. Saat boarding di Bandara Internasional Taoyuan Taiwan dan hendak take off meneruskan perjalanan pada pukul 23.17 waktu setempat, pesawat Boeing 747-412 lepas landas di landasan pacu yang salah.
Akibatnya bagian sayap menabrak eskavator dan menghancurkan pesawat hingga berkeping-keping. Hidung pesawat menabrak buldozer yang sedang terparkir. Akibatnya 83 dari 179 penumpang meninggal dunia.
Turut serta dalam kecelakaan pesawat itu adalah seorang penumpang berkewarganegaraan Indonesia, Sigit Suciptoyono. Dia selamat namun mengalami cacat pada bagian jari dan tangan kanannya. Secara psikis, Sigit juga menjadi trauma untuk menaiki pesawat terbang.
Atas kasus itu dia melayangkan gugatan ke pengadilan di Amerika Serikat namun kandas. Tidak putus asa, gugatan dipindahkan ke pengadilan Singapura. Tetapi lagi-lagi mengalami jalan buntu.
Tidak patah arang, Sigit kembali menggugat pada akhir 2007 ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Pada Februari 2008 lalu, majelis hakim PN Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan Sigit. Singapore Airlines dinyatakan bersalah dan dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp 1 miliar.
Singapore Airlines lalu banding. Tetapi Pengadilan Tinggi Jakarta malah memperberat hukuman dari Rp 1 miliar menjadi Rp 1,5 miliar. Keputusan ini dikuatkan oleh MA.
(asp/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini