"Modus-modus ini bukan lagi serangan fajar, tetapi sudah berkembang menjadi modus-modus yang lain," ujar anggota Panwaslu DKI Jakarta, M Jufri, saat berbincang dengan wartawan di kantor KPU DKI, Jl Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat, Senin, (9/7/2012).
Menurutnya, modus-modus itu bisa terjadi di mana saja, tetapi Panwaslu sudah bisa membaca titik lokasi mana saja yang berpotensi terjadi kecurangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa saja modus-modus kecurangan versi Panwaslu yang mungkin terjadi pada dalam Pilgub DJU kali ini? Berikut daftar keenam modus tersebut.
1. Serangan Fajar
|
Saking populernya, modus kecurangan yang satu ini menjadi perhatian khusus panwaslu dalam penyelenggaraan Pilgub kali ini. Bahkan, Panwaslu sudah memetakan potensi lokasi mana saja yang mungkin terjadi serangan fajar.
"Kita sudah melihat potensi serangan fajar ini akan terjadi di mana. Misal, dengan melihat pada saat kampanye banyaknya dana yang dimiliki pasangan calon, dan lainnya," ujar Jufri.
Sebagai antisipasi terhadap serangan fajar, Panwaslu akan mengerahkan relawan-relawannya di tempat-tempat yang rawan atau berpotensi terjadi serangan fajar tersebut.
"Kita tempatkan relawan-relawan kita misal di wilayah yang ditemukan NIK (Nomor Induk Kependudukan) ganda, di wilayah perbatasan, atau di wilayah-wilayah yang menjadi basis pasangan calon," ucapnya.
2. Malam Sebelum Pencoblosan
|
"Pengalaman beberapa daerah malam sebelum pencoblosan tim sukses atau oknum datang ke rumah warga, mengobrol dan memberikan uang untuk memilih pasangan tertentu," tutur Jufri.
Menurutnya, modus itu bisa jadi efektif, karena oknum yang memberikan uang berhadapan langsung dengan pemilih dan mengarahkan untuk memilih calon yang dikehendaki.
"Bahayanya kalau dia datang dan orang yang punya rumah menganggap dia bertamu. Dan orang yang menerima uang tidak melapor karena dia sudah mendapatkan uang itu," ujarnya.
Ia menjelaskan itulah fungsi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu, yaitu turut berpartisipasi mengawasi setiap pelanggaran dan kecurangan dengan melaporkannya kepada Panwaslu.
"Itu fungsinya mengapa kita dalam pengawasan ini melibatkan masyarakat. Karena memang itu terjadi pada saat saya menjadi pemantau," ucap Jufri.
3. Saat Pemberian Kartu Pemilih & Undangan
|
"Pada saat memberikan kartu pemilih dan surat undangan, biasanya di dalamnya ada brosur atau poster pasangan calon, atau bisa juga ajakan untuk memilih nomor tertentu," kata Jufri.
Menurutnya, KPPS yang memberikan kartu undangan itu bisa saja bekerjasama dengan tim sukses.
"Atau yang menyerahkan undangan itu bukan KPPS, tetapi orang lain yang diminta KPPS dengan alasan terlalu banyak undangan yang harus diberikan, sementara distribusi harus cepat," tuturnya.
Tetapi meski surat undangan dan kartu pemilih sudah mulai diberikan, Panwaslu belum menemukan ada uang di dalam undangan itu.
"Kita temukan itu di beberapa daerah, dan menjadi potensi kecurangan," ucapnya.
4. Dibayar Pasca Nyoblos
(Ilustrasi)
|
"Modusnya begini, pada saat dia memilih di TPS, untuk membuktikan bahwa di memilih pasangan yang dipesan, dia foto. Hasilnya itu yang nanti diperlihatkan kepada pasangan calon, baru dibayar," tutur Jufri.
Menurutnya, memang sulit membuktikan modus yang satu ini. Tetapi karena modus ini terjadi hanya di TPS dan dalam pantauan, maka Panwaslu akan perketat pengawasan di TPS.
"Ini juga akan menjadi perhatian kita, karena memang sulit membuktikan modus seperti ini. Makanya nanti di TPS, Panitia Pelaksana Lapangan (PPL) dan relawan panwaslu untuk memperhatikan betul tiap pemilih di TPS," kata Jufri.
5. Kecurangan Saat Penghitungan Suara
|
"Kalau ketua KPPS-nya tidak jujur, pada saat penghitungan suara, yang membuka pertama itu kan petugas KPPS. Saat diangkat surat suaranya, kalau terlihat yang dipilih bukan pilihan mereka dia akan robek, atau dia coblos dengan kukunya yang diruncingkan, atau dia pakai cincin,"
ujar Jufri.
Menurutnya, dengan dibolongi atau dirusak oleh ketua KPPS, maka surat suara akan dinyatakan gugur atau tidak sah oleh saksi di TPS karena ada dua pasangan yang dicoblos.
"Makanya kemarin pada saat pemilu lalu dijadikan contreng bukan coblos. Makanya ini jadi potensi kecurangan karena pencoblosan. Modusnya banyak di beberapa daerah," ujarnya.
Bahkan, ia menjelaskan ketua KPPSnya sudah dilatih untuk melakukan kecurangan itu. Siapa yang nanti membuka kertas suara, kalau bukan calon yang diinginkan atau kalau bukan nomor yang dipesan, maka dicoblos lagi.
"Oleh karenanya pada saat bimbingan teknis bagi petugas TPS, untuk mengetahui bahwa ada yang curang, jangan sampai rusaknya itu di tempat yang sama. Kalau sekali okelah batal, kalau kedua di tempat yang sama, patut dicurigai," kata Jufri.
"Kalau ketahuan, kami akan meminta saksi tolong dipantau dan diganti petugasnya," imbuhnya.
6. Kecurangan Dalam Kotak Suara
|
Menurut M Jufri, dulunya pergerakan kotak suara pada pemilu sebelumnya dari TPS langsung ke kecamatan. Jadi akan ada tiga tangga yang menjadi tempat transaksi oknum tim sukses.
"Pertama di TPS, di situ mungkin akan susah karena di situ banyak saksi termasuk masyarakat. Setelah pergerseran ke kelurahan (PPL), di situ ada berita acara dan kotak suara. Modusnya bisa saja surat suaranya diganti, atau kotak suaranya diganti dengan surat suara yang sudah
dicoblos," ujar Jufri.
Selain itu, menurut Jufri bisa juga sisa surat suara di TPS dimanfaatkan oleh oknum. Jika terjadi demikian, maka nanti pada saat rekapitulasi suara, berita acara yang sudah ditandatangani saksi
bertentangan dengan yang lainnya.
"Jika bertentangan maka dibukalah kotak suaranya, itulah yang sah. Padahal kotak suaranya bisa jadi sudah dicurangi," kata Jufri.
Halaman 7 dari 7
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini