Pada bulan Mei 2006, Hotasi dan direksi lainnya berencana melakukan penambahan 2 unit pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500. Hotasi saat itu tidak melaporkan atau mengajukan perubahan soal rencana penyewaan pesawat ke dalam rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP) tahun 2006.
"Tindakan terdakwa bertentangan dengan Pasal 3 jo Pasal 8 Keputusan Menteri BUMN tentang Penyusunan Rancangan Kerja dan Anggaran Perusahaan BUMN," kata penuntut umum, Heru Widarmoko di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (5/7/2012).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski tidak tercantum dalam Rancangan Kerja dan Anggaran PT Merpati, General Manager Pengadaan Pesawat PT Merpati Tony Sudjiarto tetap membuat kesepakatan dengan TALG. Pembayaran security deposit dilakukan melalu rekening Hume and Associates PC.
Tony kemudian menandatangani surat perjanjian penyewaan pesawat. Dalam perjanjian itu, PT Merpati sepakat menempatkan security deposit sebesar USD 500 ribu untuk masing-masing pesawat.
"Atas disposisi terdakwa kemudian corporate finance division menyiapkan form instruksi direksi untuk melakukan transfer 1 juta USD yang ditandatangani oleh masing-masing direksi dan Hotasi. Akan tetapi, Hotasi tidak memberitahukan kepada anggota direksi lainnya tapi justru memberikan persetujuan pembayaran security deposit ke kantor pengacara Hume and Associates PC," terang Heru.
Security deposit 1 juta USD dibayarkan dengan cara tunai ke rekening Hume and Associates tanpa melalui mekanisme letter of credit atau escrow account. Pembayaran ini dilakukan sebelum adanya penandatanganan perjanjian pembelian. Penuntut menilai perbuatan tersebut menguntungkan TALG sehingga merugikan keuangan negara yakni PT Merpati sebesar USD 1 juta.
Perbuatan terdakwa dianggap melanggar Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Usai persidangan, Hotasi menyatakan keberatan atas dakwaan penuntut umum. "Kerugian negara belum terjadi karena masih ada kesempatan menagih. Dua orang ini (TALG dan Hume Associates PC) yang tidak mengembalikan," ujarnya.
Hal yang sama dikemukakan kuasa hukum Hotasi, Juniver Girsang. "Hotasi tidak pernah menerima sepesar pun dari USD 1 juta," katanya. Juniver menegaskan kasus ini murni perdata terkait wan prestasi. "Bukan tindak pidana korupsi," tegasnya.
(fdn/rmd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini