Biaya Sekolah Mahal, Anak-Anak Dipaksa Turun ke Jalan

Biaya Sekolah Mahal, Anak-Anak Dipaksa Turun ke Jalan

- detikNews
Minggu, 15 Agu 2004 15:40 WIB
Jakarta - Tiada kisah paling indah, kisah kasih di sekolah Tiada masa paling indah, masa-masa di sekolahRefrain lagu "Kisah Kasih di Sekolah" yang kembali dipopulerkan Cryse sekalgus judul sinetron yang dimainkan Marshanda, melengking fals dari mulut seorang bocah. Lastri, bocah itu, menyanyikan lagu itu di lampu merah Cijantung, Jakarta Timur. Marni (34), ibu Lastri mengaku terpaksa menyuruh anaknya mengamen untuk memenuhi biaya sekolah. Pendapatan Marni yang bekerja sebagai tukang cuci dan gosok dan suaminya Rasum (40) sebagai kuli panggul tak cukup untuk menyekolahkan Lastri.Perbulan Marni hanya memperoleh Rp 150 ribu dari hasil mencuci dan menggosok baju tetangganya. Sedangkan Rasum per hari memperoleh Rp 10-15 ribu. Padahal keluarga ini mempunyai 5 orang anak. Tiga anak sebelumnya telah putus sekolah karena tak kuat menanggung biaya. Sekarang anaknya yang keempat, Lastri masih duduk di kelas I SD Negeri 15 Cililitan. "Namanya orang kecil begini. Tahu sendiri penghasilannya, cuma habis buat biaya hidup sehari-hari. Kita maunya pendidikan gratis jadi nggak perlu sampai ngamen," kata Marni , yang tinggal di Kampung Tengah Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, saat ditemui detikcom.Lastri mengamen setelah pulang sekolah. Dari kegiatan itu, ia per hari rata-rata memperoleh Rp 5 ribu. Kalau ramai bisa mencapai Rp 10 ribu. "Nggak tentulah. Seringnya dapat Rp 5 ribu," kata Lastri. Uang itu untuk membayar SPP per bulan Rp 10 ribu. Sedangkan biaya buku-buku pelajaran dan alat sekolah lainnya Rp 150 ribu.Nasib sedih juga dialami Sulamah (35) dan Roni (8), anaknya. Sama dengan Marni, Sulamah juga terpaksa menyuruh Roni mengamen. Perempuan asal Semarang, Jawa Tengah ini di Jakarta bekerja mengupas bawang di Pasar Induk Kramatjati. "Per kilonya Rp 4 ribu. Tapi tiap hari nggak pasti saya kerja. Tergantung bandarnya (orang yang memberi order) ada pesanan atau tidak,"jelasnya. Sulamah mempunyai 2 anak. Roni duduk di kelas 3 SD Kampung Tengah. Dan satu lagi anaknya Masih balita. Kalau pas sepi tak ada order mengupas bawang, Sulamah mengawasi Roni mengamen. Tak jarang ia pun ikut melakoni pekerjaan anaknya itu. Tak Putus Harapan Nasib yang sedikit lebih baik dialami Neneng Yulianti (12). Meski orang tuanya pas-pasan, ia tak harus mengamen. Ayah Neneng, Mahfud (55) bekerja di Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Istrinya, Nurhayati (50), di rumah mengumpulkan barang bekas. Gaji Mahfud perbulan Rp 700 ribu. Sedangkan dari barang bekas yang dikelola istrinya, diperoleh Rp 15 ribu perhari. Keluarga yang tinggal di Jl. Beringin Kampung Gedong ini mempunyai 4 anak. Tiga anak sudah menikah. Ketiganya putus sekolah saat masih di bangku sekolah dasar. Seolah takdir, ketiganya menurun pekerjaan ayahnya, menjadi petugas kebersihan di lingkungannya masing-masing. Sedang Neneng yang merupakan anak bungsu kini kelas 6 SDN 13 Petang Gang Makmur Jakarta Timur.Nurhayati menuturkan, uang SPP Neneg per bulan Rp 15 ribu. Sedangkan biaya peralatan sekolah untuk tahun ajaran baru rata-rata mencapai Rp 200 ribu. Nurhayati mensiasati mahalnya peralatan sekolah dengan tabungan. "Si Neneng ini mulai dini diajarkan menabung di sekolahnya. Uang ini digunakan untuk menanggulangi biaya sekolah Neneng," tutur Nurhayati. Meski susah, Mahfud mengaku tak putus harapan untuk menyekolahkan Neneng hingga perguruan tinggi. Kebetulan Neneng termasuk siswa yang berprestasi di sekolahnya. "Kita nggak putus harapan. Kebetulan Kepala Sub Dinas Kebersihan DKI Jakarta berjanji akan membantu biaya sekolahnya nanti," kata Mahfud. (iy/)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads