Faried Haryanto, Jaksa yang Pimpin Eksekusi Ayodhya

Faried Haryanto, Jaksa yang Pimpin Eksekusi Ayodhya

- detikNews
Jumat, 13 Agu 2004 05:01 WIB
Medan - Faried Harianto dikenal kalem dan tidak banyak bicara. Bagi Kepala Kejaksaan Negeri Medan ini, setiap tugas harus dijalankan sebagai konsekuensi dari pilihan pekerjaan yang dilakoninya sebagai jaksa. Termasuk juga ketika harus mengeksekusi Ayodhya Prasad Chaubey, terpidana mati kasus narkoba berkewarganegaraan India."Bagi saya itu adalah hal yang biasa, suatu tugas yang harus saya laksanakan. Kalau sudah bunyi UU demikian dan saya ditunjuk sebagai petugas yang harus melaksanakan, tentu saya laksanakan. Jadi tidak ada suatu hal yang aneh," kata Faried pada detikcom, di ruang kerjanya di Jalan Adinegoro, Medan, Kamis (12/8/2004). Faried Harianto memang mengikuti sampai akhir proses eksekusi terhadap Ayodhya pada 5 Agustus 2004 lalu di Medan, apalagi karena memang dia yang memimpin eksekusi yang menyertakan 12 anggota regu tembak dari Brimob Daerah Sumut tersebut. "Memang ini yang pertama bagi saya memimpin dan menyaksikan eksekusi, tapi yah biasa-biasa saja. Tidak ada beban psikologis. Ndak tau ya kenapa, tidak ada beban sama sekali," kata Faried yang pada malam usai eksekusi tempo hari terlihat pucat dan lelah. Dia menceritakan, bagaimana posisinya saat akan melakukan eksekusi yang berlangsung di Lapangan Golf Pangkalan TNI AU Medan tersebut. "Saya langsung di depan, karena saya yang memimpin. Kepada terpidana mati, pada waktu itu, saya sebutkan nama, jabatan dan pangkat saya, selaku inspektur, yang akan melaksanakan eksekusi tersebut," tukas Faried, pria kelahiran Bangkalan, Madura, 31 Januari 1959. Selanjutnya, tutur Faried, dia memerintahkan perwira Brimob untuk laksanakan eksekusi itu dengan jalan ditembak. "Lalu saya mundur dua hingga tiga meter, di samping perwira tadi. Saya lihat proses itu sampai selesai," katanya. Bertemu AyodhyaBeberapa hari sebelum eksekusi berlangsung Faried melakukan pertemuan dengan Ayodhya Prasad Chaubey di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta,Minggu (1/8/2004) pagi. "Saya beritahukan putusan pengadilan akan dilaksanakan. Terus saya tanya permintaan terakhir apa. Setelah selesai diketik lalu dibacakan kepadanya, dengan saksi kepala LP dan seorang saksi lainnya, Martin," tukas Faried yang pernah menjabat sebagai Kabag Tata Usaha pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara. Ketujuh permintaan Ayodhya waktu itu, pertama, dikunjungi Konsulat Jenderal India di Medan; kedua, diberikan pakaian; ketiga, seluruh masakan makanan untuknya tidak mengandung daging sapi atau babi; keempat, melihat barang bukti 12,29 kilogram heroin yang didakwakan; kelima, bertemu dengan keluarganya; keenam, dikebumikan secara Islami; dan ketujuh, seluruh barangnya diserahkan ke Konjen India di Medan setelah dieksekusi.Namun, Kejari Medan tidak dapat memenuhi permintaan Ayodhya untuk bertemu istri dan anaknya karena surat yang dikirim kepada keluarga Ayodhya sejak 15 Juli 2004 melalui Kedutaan Besar India tidak ditanggapi. Sedangkan permintaan melihat barang bukti 12,29 kilogram heroin tidak dilaksanakan justru karena Ayodhya sendiri yang tidak bersedia melihatnya setelah barang bukti itu dfibawakan ke LP. Pasalnya Ayodhya ingin ada staf Kedubes India atau utusan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) yang turut menyaksikannya bersama dia. Permintaan tambahan itu tak bisa dipenuhi. Pasca eksekusi terhadap Ayodha ini, kata Faried, kemungkinan pihaknya akan melaksanakan eksekusi terhadap dua warga negara Thailand yang juga dipidana mati dalam kasus yang sama dengan Ayodha, namun berkas terpisah, yakni Saelow Praseart (58), pria kelahiran 5 April 1942 yang berprofesi sebagai mekanik mobil, serta Namsong Sirilak, seorang wanita berusia 34 tahun. Tentang rencana eksekusi itu, Faried kembali berucap, dirinya siap melaksanakan selama memang sudah menjadi ketentuan hukum. "Kunci dari semua ini, yang penting niatnya ikhlas. Apapun UU nya yang membuat kan rakyat, melalui wakil. Kalau rakyat menentukan demikian, akan saya laksanakan. Kalau tidak dilaksanakan, justru berarti saya berkhianat terhadap negara," katanya. Faried merasa, mungkin memang sudah menjadi garis tangan dan nasibnya yang selalu ditakdirkan menangani kasus yang menarik perhatian publik. "Sejak saya di Surabaya, pimpinan selalu memberikan kasus yang berat, mungkin pimpinan menilai saya bisa laksanakan. Alhamdulillah," katanya. Faried memang menjadi jaksa penuntut terhadap tersangka pelaku pembunuhan terhadap Marsinah, seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa, Surabaya yang ditemukan jadi mayat pada 9 Mei 2002 di Dusun Jegong Kec. Wilangan Nganjuk, Jawa Timur. Kemudian saat menjabat sebagai Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, pada Mei 2003, dia memimpin langsung tim gabungan gabungan dari Kejati Riau bersama Polda Riau menangkap Huzrin Hood, Bupati Kepulauan Riau yang disangkakan terlibat kasus penyimpangan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2001 Kabupaten Kepulauan Riau sebesar Rp 87,2 miliar. Huzrin ditangkap di Apartemen Menteng, Cikini, Jakarta Pusat. Dia juga jaksa penuntut umum dalam kasus korupsi Rp 1 trilyun dengan terdakwa Thamrin Tanjung dan Tjokorda R Sukawati, berkaitan dengan pembangunan jalan tol lingkar luar selatan Jakarta-Pondokpinang dan tol Tanjungpriok-Jembatan Tiga. Kedua jalan tol tersebut dikelola PT Citra Marga Nusaphala Persada yang sahamnya antara lain milik Siti Hardiyanti Rukmana dan PT Marga Nurindo Bhakti. (gtp/)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads