Berdasarkan informasi, pemberhentian sepihak terjadi setelah Harsem bergabung dengan Suara Merdeka, media cetak terbesar di Jateng. Dengan akusisi tersebut, Harsem menghentikan penerbitan pada tanggal 28 Februari 2012, lalu mulai terbit lagi 12 Maret dengan koran baru. Namun dalam penerbitan tersebut, belasan karyawan yang sudah bekerja sebelumnya tidak tercantum namanya sebagai karyawan. Bahkan pihak perusahaan memperkerjakan karyawan baru.
"Ketika terbit kembali, ternyata nama kami sudah tidak ada. Akhirnya kami meminta dialog untuk penyelesaian bipartit," kata Joko Sulistyo, eks editor Harsem di kantor Disnakertrans Kota Semarang, Jalan Ki Mangunsarkoro.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seharusnya jika kontrak selesai tapi seminggu sebelumnya tidak ada pemberitahuan, itu artinya sudah diangkat menjadi pegawai tetap," ungkap Sardi, redaktur Harsem.
Dengan pemberhentian sepihak tersebut, 12 karyawan Harsem tersebut menuntut hak-hak mereka seperti uang pesangon sebagaimana mestinya.
"Menurut UU ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003, pesangon yang diberikan adalah 2 kali masa kerja dikali gaji ditambah 15 persen ditambah gaji yang belum dibayar," kata Sardi.
Dengan adanya mediasi dari Dinaskertrans diharapkan pihak perusahaan Harsem mau memenuhi panggilan Disnakertrans dan menyelesaikan kasus tersebut.
"Mediasi akan dilanjutkan Senin depan," ujar Joko usai menemui pihak Disnakertrans.
Ke-12 karyawan Harsem didampingi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Ham Indonesia (PBHI). Pihak perusahaan diwakili pengacara.
(alg/try)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini