"Program Inafis tidak boleh membebankan biaya pada masyarakat karena program ini kewajiban negara/Pemerintah cq Polri untuk file para pelaku kejahatan," kata Adang dalam siaran pers, Rabu (25/4/2012).
Adang mengaku dirinya sudah banyak membaca soal pengadaan kartu itu. Menurut dia, ada baiknya aturan soal pengadaan kartu itu ditinjau kembali,
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia pun bercerita mengenai awal mula proyek seperti Inafis. Pada tahun '90-an ada yang namanya proyek CAAFIS untuk mengidentifikasi pelaku kriminal. Saat itu Polri masih tergabung dalam ABRI.
Kemudian, pada saat Polri membuat UU No 2/2002, rencana pembuatan kartu itu dihidupkan kembali dengan mencantumkannya di UU Kepolisian pasal 14 ayat H tentang identifikasi dan pasal 15 ayat J tentang penyelenggaraan Pusat Informasi Kriminal Nasional (PIKNAS).
"Tapi saya tidak mengerti mengapa sekarang menjadi bagian dari proses SIM dan ditarik biaya. Konsep PIKNAS yang dulu, PIKNAS hanya untuk 'file' para pelanggar hukum atau yang lainnya, dan dapat diambil dari Polri," jelasnya.
Untuk pengadaan file itu pun meliputi daftar residivis di Polri, di Lapas dengan Kemenkum, dan juga dengan Kejaksaan sama sekali tidak dikenakan biaya karena memang kewajiban Polri. Adang mengemukakan kekhawatirannya bila Kartu Inafis atau sidik jari dikenakan biaya, akan timbul sejumlah persoalan.
"Kemudian hari akan menjadi masalah ada oknum dan biaya Rp 35 ribu menjadi beban masyarakat di mana ekonomi masyarakat sangat lemah. Dan kartu Inafis ini tidak sesuai cita-cita awal, di mana file pelaku kriminal menjadi file masyarakat," tuturnya.
(ndr/nwk)