Logika Anak & Orang Dewasa Sering Disamakan di Buku Pelajaran SD

Logika Anak & Orang Dewasa Sering Disamakan di Buku Pelajaran SD

- detikNews
Jumat, 13 Apr 2012 17:36 WIB
Jakarta - Beberapa kalangan mengeluhkan materi pelajaran yang demikian kompleks di buku pelajaran anak SD. Hasil penelitian Universita​s Paramadina di tahun 2008 tentang buku pelajaran di Indonesia menemukan logika anak dan orang dewasa sering kali disamakan.

Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listiarti, mengutip penelitian yang dilakukan Universitas Paramadina. Pada penelitian tahun 2008 itu diambil beberapa sampel buku seperti agama yakni Islam, Kristen dan Katolik. Selain itu buku IPS, IPA dan Penjaskes untuk kelas 1-5 SD juga menjadi sampel.

"Bahan yang berlebihan, dari halaman awal kelas 1 SD langsung disodorkan teks dengan panjang bacaan mencapai 2 halaman. Padahal anak kelas 1 belum memiliki kemampuan baca dan memahami teks. Buku agama Islam juga menuliskan bacaan yang berisi 3 tulisan yakni Arab, Latin dan Indonesia," tutur Retno membacakan hasil penelitian Universitas Paramadina.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu disampaikan dia dalam jumpa pers di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jl Kalibata Timur, Jakarta, Jumat (13/4/2012).

Dari penelitian juga terungkap bahwa penulis menyamakan logika anak-anak dan logika orang dewasa. Misalnya dalam kisah 'Kue Kejujuran'.

"Jadi ada sekumpulan anak pulang menemukan dompet, lalu mereka bertanya ini dompet siapa ya. Satu anak berkata, coba lihat di dalamnya ada KTP? KTP ada alamatnya, yuk kita antar. Ini kan tidak logis. Anak kelas 1 SD mengerti KTP, mengerti bahwa ada alamat di dalamnya sedangkan membaca saja belum tentu bisa," terang Retno.

Selain itu ilustrasi gambar yang menyajikan cerita urutannya tidak logis, terkait dengan keseharian anak. Contohnya di buku Bina Bahasa Indonesia, terdapat ilustrasi kegiatan bangun tidur anak yang langsung pakai seragam sekolah. Padahal seharusnya didahului aktivitas mandi. 
"Selain itu, ada gambar satu keluarga punya 3 anak. Anak yang paling kecil digendong ibu. Bapak-ibu bertengkar, dan kedua anak sisanya juga bertengkar berebut mainan. Ada pertanyaan, ini keluarga harmonis, tak harmonis atau keluarga berantakan. Anak saya menanyakan hal ini, karena dia tidak tahu harmonis. Menurut dia jawaban C nggak mungkin, karena yang berantakan cuma mainan," papar Retno.

Selain itu buku pelajaran anak juga menggunakan sisi intelektual yang terlalu tinggi. Temuan lainnya, penulis membayangkan kemampuan cara berpikir anak yang dianggap punya kemampuan berpikir orang dewasa.

"Tidak memberi porsi bagi muatan lokal sebagaimana tuntutan kurikulum. Penulis tidak mengaitkan materi bacaan dengan kondisi lokal, misal anak di daerah pesisir harusnya diberi pengetahuan tentang laut," lanjut Retno.

Selain itu, bahasa penuturannya salah. Misalnya dalam buku IPS, pengertian kasih sayang adalah melayani. Lalu kakak dianggap memberi kasih sayang karena suka memberikan hadiah kepada keluarganya.

"Tidak ada rujukan, bahkan cenderung mengarang materi. Beberapa buku tak punya daftar pustaka. Juga mendorong metode ceramah bagi guru, karena bahasan terlalu banyak dan rumit, siswa malas membaca. Anak jadi pasif, rewel, bandel dan tidak kreatif," ucap Retno.

Direktur Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina, Utomo Dananjaya, ketika berbincang dengan detikcom, Kamis (12/4) menyebut berdasarkan riset 5 tahun lalu terhadap buku-buku ajar, hasilnya, kebanyakan buku ajar itu kurang bermutu.

"Ada buku tentang olahraga, pendidikan jasmani yang intinya menganjurkan bahwa anak-anak perempuan SD jangan dekat-dekat dengan laki-laki nanti bisa hamil. Itu kan tidak cocok untuk anak. Ada juga buku SD kelas 1, bacaan teks 3 halaman, yang mengarang profesor. Lah anak kelas 1 SD kan baru belajar membaca. Harusnya ya beberapa kalimat saja, seperti 'aku dan lingkunganku', 'aku dan sekolahku'," jelas Utomo.

Lolosnya buku-buku ajar semacam ini, menurut Utomo, akibat kurangnya perhatian pada pendidikan di Indonesia. "Kurang perhatian pada pendidikan kita, pada teknis pendidikan serba kurang, kurang sarananya, kurang jumlah gurunya, kurang pendidikan gurunya. Kurikulum sudah berubah, namun belum sampai pada pendidikan guru," jelas Utomo.

(vit/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads