"Kami berangkat dari Pulau Tahuna pukul 08.00 WITA. Sampai Pulau Awu pukul 23.30 WITA. Besoknya baru sidang," kata Juply saat berbincang-bincang dengan detikcom, Senin (2/4/2012).
Juply bertugas di PN Tahuna 2007 silam. Saat pertama kali sampai yang harus dia kerjakan adalah membenahi rumah dinas. Dari atap seng yang berlobang, kaca pecah hingga membeli perabotan. "Kursi, kasur beli sendiri. Listrik pun bayar sendiri pakai uang gaji, tidak tidak ditanggung negara," papar lajang asal Manado ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kasihan kalau masyarakat yang datang ke Tahuna, harus keluar banyak ongkos. Jadi kita yang ke pulau-pulau dan bermukim 3 atau 4 bulan untuk bersidang ke sana," ujar Juply yang mulai bergabung di korps Cakra sejak 2003 silam.
Dalam setahun, PN Tahuna menangani dua ratusan kasus pidana dan seratusan kasus perdata. Bertugas di pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan Filipina memberikan kesan yang mendalam. "Kalau dibilang duka, bagaimana ya. Kami menikmati dan bersyukur," ucap Juply.
Menjadi hakim di wilayah kepulauan mengakibatkan biaya hidup sangat tinggi. Namun sayang, negara menyamaratakan gaji hakim di seluruh Indonesia. Padahal biaya hidup di Sangir Talaud sangat tinggi dibanding dengan kota besar atau di pulau Jawa.
Alhasil, menurutnya wajar jika ada seruan hakim mogok sidang. Menurutnya hal tersebut sebagai ekspresi atas permasalahan yang terjadi selama ini.
"Seruan mogok sidang adalah wujud dari terlalu lamanya hakim dianaktirikan oleh negara. Tapi kalau sampai mogok sidang, saya kasihan sama masyarakat di sini yang jauh-jauh datang dari pulau lain. Mereka datang ke Tahuna kan pakai biaya. Mereka datang sehari sebelumnya karena jarak antar pulau yang cukup jauh. Kasihan kalau sudah jauh-jauh datang ternyata tidak ada sidang," papar Juply yang kini telah dipindahtugaskan di PN Kotamobagu, Sulut.
(asp/nrl)