Yogyakarta - Pemindahan terminal bus lama ke terminal baru di daerah Giwangan Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta diwarnai aksi protes puluhan warga sekitar bersama pedagang kaki lima (PKL).Aksi blokir yang dilakukan warga kampung Giwangan Kecamatan Umbulharjo bersama para PKL di jalan masuk ke terminal itu karena Pemkot Yogyakarta dinilai ingkar janji. Pihak Pemkot Yogya pada saat terminal baru beroperasi ternyata tidak mempekerjakan warga sekitar terutama warga yang tanahnya terkena proyek.Bahkan pada saat dilakukan soft opening Minggu (8/8/2004), ratusan penumpang dan kru bus kebingungan karena jalur masuk bus menuju terminal dan tempat parkir bus tampak semrawut sehingga banyak petugas yang kewalahan karena tidak siap mengatisipasi.Tidak hanya itu, para kru angkutan baik bus AKAP Antarkota Antarprovinsi (AKAP) dan bus AKDP Antarkota Dalam Provinsi (AKDP) juga bingung dan semrawut antar bus yang baru masuk dengan bus yang dari tempat parkir menuju ke TPR.Aksi pemblokiran oleh warga itu berlangsung ketika Walikota Yogyakarta Herry Zudianto bersama Wakil Walikota Syukri Fadholi, Ketua DPRD Bahtanisar Basyir dan jajaran Muspida Kota Yogyakarta serta pimpinan proyek PT Perwita Frananto Hidayat melakukan
soft opening terminal tipe A itu. Meski warga sempat melakukan aksi protes pelaksanaan acara
soft opening tetap berlangsung yang ditandai dengan pemecahan sebuah kendi berisi air bunga.Jalan yang diblokir warga RW 8,9,10 dan 13 Kelurahan Giwangan itu, jalan menuju kantor pengelola terminal, tempat parkir becak, andong dan jalan untuk parkir ojek. Jalan tersebut diblokir warga dengan menumpuk kayu dan karung berisi pasir di sepanjang jalan. Selain itu warga juga menutup papan nama untuk ojek, andong dan becak dengan menggunakan kain putih sebagai ungkapan protes mereka.Salah seorang warga Giwangan, Slamet Haryanto mengungkapkan, pemblokiran ini terpaksa dilakukan karena pengelola terminal dan Pemkot Yogyakarta telah ingkar janji. Sebab dulu mereka menjanjikan 50 persen dari pekerja terminal akan diambilkan dari warga sekitar terutama mereka yang tanahknya terkena proyek. Namun kenyataannya tidak sampai 20 persen saja warga sekitar yang dipekerjakan di terminal baru itu."Kita hanya menagih janji saja. Padahal pada saat pembebasan tanah harga tanah disini dulu hanya dihargai Rp 40 ribu/meter. Yang menolak dicap dan dikatakan PKI sehingga warga terpaksa melepasnya karena takut. Saya saja dulu juga dibilang PKI gara-gara menolak melepas tanah karena harganya murah," kata Slamet.Menurut Slamet, warga sengaja menutup papan nama andong, ojek dan becak karena warga tidak mau area di sekitarnya dijadikan parkir andong. Pasalnya, pihak pengelola sampai sejauh ini tidak memikirkan ekses dari keberadaan andong tersebut."Limbah dan polusi dari kotoran kuda itu kenapa tidak dipikirkan, malah warga yang nanggung akibatnya," ujar Slamet.
(nrl/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini