Koalisi pelapor terdiri dari beberapa lembaga swadaya masyarakat, antara lain Imparsial, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
"Yang dilaporkan adalah Kementerian Pertahanan," kata Direktur Eksekutif Imparsial, Poengki Indarti kepada wartawan di kantor KPK, Jakarta, Selasa (20/3/2012).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama adalah penggunaan rekanan dalam pembelian Sukhoi ini. Menurut Poengki, semestinya pengadaan pesawat dari Rusia tersebut tidak melalui rekanan. Pasalnya, program ini merupakan program antar pemerintah. Diduga, katanya, akan ada fee 15 persen untuk rekanan.
Keganjilan lainnya, adalah penggunaan kredit ekspor 470 juta dollar AS. Kecurigaan lainnya adalah kredit ekspor, karena dianggap lebih banyak mendatangkan kerugian.
"Karena ini kan G to G, gak boleh ada rekanan. Pemerintah Rusia, mereka punya perusahaan sendiri. Mereka punya kantor di sini. Namun operasionalnya dilakukan oleh Trimarga," aktivis ICW, Tama S Langkun menambahkan.
Koalisi menyatakan koalisi menyerahkan bukti-bukti yang dimiliki ke KPK. "Semua bukti, surat-surat, perhitungan-perhitungan yang menimbulkan kerugian negara," ucapnya.
Dugaan adanya penggelembungan semula disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin. Ia mengatakan Rosoboron Export, perusahaan pemasok pesawat, pada Juli 2011 menyampaikan harga Sukhoi SU-30 MK2 sekitar US$ 60-70 juta per unit. Harga termahal yaitu US$ 70 juta, hanya membutuhkan dana US$ 420 juta untuk enam pesawat. Sementara dana yang digunakan Kementerian Pertahanan untuk membeli mencapai US$ 470 juta atau selisih US$ 50 juta.
(fjr/fiq)











































