"Karena kekuasaan kehakiman adalah sisa dari konsep Kedaulatan Tuhan," kata pengamat hukum tata negara, Irman Putra Sidin, saat berbincang dengan detikcom, Senin, (13/2/2012).
Teori ini berkembang pada abad ke 5 hingga 16 di Eropa. Saat itu, muncul dua organisasi kekuasaan yaitu organisasi kekuasaan negara yang dipimpin oleh raja dan organisasi kekuasaan gereja yang dipimpin oleh Paus. Negara memandang bahwa yang menjadi wakil Tuhan di dunia adalah Raja. Sedangkan organisasi kekuasaan gereja berasumsi bahwa yang menjadi wakil Tuhan adalah Paus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat ini, satu-satunya sisa Kedaulatan Tuhan adalah lembaga pengadilan," paparnya.
Adapun konsep kekuasaan Tuhan di bumi adalah Raja berubah menjadi demokrasi dengan beragam sistem. Dari demokrasi parlementer, demokrasi langsung, demokrasi terpimpin, demokrasi presidensil dan sebagainya. Tetapi sisa Kedaulatan Tuhan ini masih diyakini dan diakui oleh konstitusi Indonesia.
"Bahkan produk demokrasi pun bisa dikontrol oleh lembaga kehakiman. Seperti DPR dan Presiden yang membuat UU. Lalu dikemudian hari ada yang tidak sepakat dan menggugatnya ke Mahkamah Konstistusi (MK) dan MK membatalkan UU tersebut," terang Irman.
Alhasil, bisa saja masyarakat tidak setuju dengan putusan hakim karena tidak sesuai dengan perasaan keadilan. Namun sistem telah memberikan kepada hakim untuk menilai akhir.
"Sebab kita hanya memakai rasa. Sedangkan 5 hakim memakai rasa, rasio dan fakta," papar Irman.
"Lalu bagaimana dengan putusan PK Antasari Azhar yang ditolak MA,?" tanya detikcom.
"Saya tidak mau masuk ke dalam kasus konkret," jawab Irman menyudahi pembicaraan.
(asp/vit)