"Tidak mudah karena jumlah jurnal yang ada terbatas. Nantinya malah banyak yang abal-abal," kata Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia, Edy Suandi Hamid, dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (10/2/2012).
Dikatakan dia, jumlah jurnal karya ilmiah di perguruan tinggi Indonesia lebih rendah ketimbang beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Thailand adalah fakta. Tetapi Dirjen Dikti Kemendikbud juga harus realistis melihat situasi yang ada.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditambahkan pria yang juga Rektor UII ini, berdasar data Indonesian Scientific Journal Database pada Oktober 2009, terdata sekitar 2.100 jurnal di Indonesia yang masih aktif. Jika setiap jurnal hanya terdiri dari 5 artikel saja, tentu tidak bisa mewadahi jumlah mahasiswa yang akan lulus.
"Kalau cuma dimasukkan ke online saja, yakni abstraknya saja, mungkin bisa. Tapi kan tidak semua universitas memfasilitasi ini," lanjut Edy.
Dengan kebijakan Dirjen Dikti ini, Edy juga khawatir akan bermunculannya jasa penulisan jurnal. "Nanti banyak juru tulis ilmiah," ucapnya sambil terkekeh.
Surat Dirjen Dikti yang menjadi kontroversi adalah surat bertanggal 27 Januari 2012 tentang publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S1, S2, dan S3 sebagai syarat kelulusan yang berlaku mulai Agustus 2012.
Bunyi surat Dirjen Dikti Djoko Santoso yang menyangkut syarat kelulusan adalah:
Sebagimana kita ketahui pada saat sekarang ini, jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh. Hal ini menjadi tantangan kita bersama untuk meningkatkannya. Sehubungan dengan itu terhitung mulai kelulusan setelah Agustus 2012 diberlukan ketentuan sebagai berikut:
Untuk program S1 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah
Untuk program S2 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah terakreditasi Dikti
Untuk program S3 harus ada makalah yang terbit di jurnal Internasional.
(vit/nrl)