Pernyataan ini disampaikan Ketua Fokus, Panut Hadisiswoyo kepada wartawan di Medan, Minggu (29/1/2012) sore, menanggapi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) A Aritonang dalam persidangkan kasus perdagangan orangutan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumut, Kamis (26/1/2012) lalu.
Menurut Panut, tuntutan 1 tahun penjara dan denda Rp 10 juta atau kurungan tambahan selama 2 bulan terhadap Syamsul, tersangka pelaku perdagangan orangutan dinilai sangat ringan. Tuntutan tersebut belum mencerminkan penerapan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Panut, tim penyidik menggunakan UU Kehutanan tersebut karena orangutan merupakan bagian dari hasil hutan nonkayu seperti yang tertuang pada pasal 8 ayat (4) PP No 45/2004 tentang Perlindungan Hutan dan Peraturan Menteri Bersama antara Menakertrans dan Menhut No P-52/Menhut-II/2007 tentang pelepasan kawasan hutan dalam rangka penyelenggaraan transmigrasi.
"Dalam pasal itu, hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya serta jasa yang berasal dari hutan sehingga penggunaan Undang-undang Kehutanan pada kasus konservasi dapat menjadi suatu gebrakan dalam upaya penegakan hukum di bidang konservasi," kata Panut.
Panut menjelaskan, dalam UU tersebut secara tegas mengatur ancaman hukuman pidana bagi pelaku kejahatan konservasi adalah hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 5 miliar.
"Tetapi JPU hanya menuntut Syamsul satu tahun penjara dan denda Rp 10 juta rupiah,β ujar Panut.
Panut Hadisiswoyo yang juga Founder Orangutan Information Center berharap, majelis hakim yang diketuai Sri Kuncoro, mempertimbangkan keputusan yang adil dan bijak sehingga UU Kehutanan dan UU Konservasi dapat diimplementasikan secara tegas.
(rul/lrn)