Jalur khusus pedestrian alias trotoar yang direncanakan di Jakarta tidak kunjung usai atau bahkan tidak jelas interkoneksinya.
"Sudah nasibnya para pejalan kaki yang menjadi korban," ujar pengamat Tata Kota dan Transportasi Yayat Supriatna saat berbincang dengan detikcom, Jumat (27/1/2012).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak hanya itu, pedestrian yang dibangun di Jakarta juga tidak jelas interkoneksinya. "Mau kemana-mana hanya sepenggal-sepenggal. Apakah jalannya sudah terencana tidak? Putus-putus," kata Yayat.
Meski ada jalan yang disediakan para pejalan kaki, namun para pejalan kaki harus berhadapan dengan para pedagang kaki lima yang berdiri di sepanjang trotoar atau pedestrian.
"Punya musuh bebuyutan yaitu pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima tidak punya izin tapi dipelihara," jelasnya.
"Mereka dipungut retribusi. Ruang ini diperjual-belikan jadi seakan-akan bukan ruang bagi pejalan kaki," tambahnya.
Menurut Yayat, hak para pejalan kaki pun semakin tidak menjadi prioritas. hal itu tercermin dengan tidak dibangunnya faktor-faktor pendukung yang memadai sehingga masyarakat nyaman berjalan kaki.
"Misalnya tidak ada kanopi, tidak ada pohon. malam hari tidak ada lampu penerangan dan masalah kriminalitas," ujarnya.
Sayangnya, lanjut Yayat, pemikiran bersama bagi ruang pejalan kaki baru tumbuh dengan kencang usai peristiwa tabrakan maut yang menewaskan 9 orang beberapa waktu lalu di Jakarta Pusat.
"Semua orang berfikir yang sama, berpikir bahwa ruang pejalan kaki. Dialah Afriyani yang mengingatkan orang, dialah yang merubah cara berpikir," terangnya.
Ke depan, Yayat menyarankan konsep yang jelas tentang jalur pedestrian. Jalur-jalur pejalan kaki harus nyaman dan jelas interkoneksinya dan menata masalah sosial di jalur-jalur pejalan kaki, seperti masalah pedagang kaki lima.
(fiq/fjr)








































.webp)













 
             
  
  
  
  
  
  
 