Tidak terima, sang istripun balas dendam. Menggandeng laki-laki lain, di depan umum, jelang perayaan Cap Go Meh.
Aksi dua pasangan inipun diketahui masing-masing mertua hingga keduanya bertengkar hebat. Saling tuding dan membawa harga diri keluarga masing-masing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pun demikian, laki-laki yang diselingkuhi ternyata adalah perempuan tulen. Dia berpura-pura sebagai laki-laki karena sang istri cemburu dan ingin memberi pelajaran, suami berjalan dengan wanita lain.
Drama klasik 'Nonton Cap Go Meh' bercerita pertentangan antara kaum tua dan muda warga Tionghoa terhadap nilai-nilai budaya mereka. Dikemas dalam bahasa Melayu Tionghoa pasaran waktu itu, penonton diajak tertawa dengan cerdas.
Menertawakan satir waria dengan sopan, tak seperti komedi dewasa ini. Yang menghadirkan waria sebagai objek penderita dengan sindiran fisik yang bodoh.
Naskah Nonton Cap Go Meh adalah karya Kwee Tek Hoay, novelis Melayu Tionghoa, yang pernah diterbitkan pada 1930. Kurang lebih 45 menit, Teater Bejana, tampil di salah satu klenteng di Petak Sembilan, akhir pekan lalu. Pentas kali ini juga untuk memperingati 150 tahun kelahiran Kwee Tek Hoay.
Sayang, era pemerintah Orde Baru tidak pernah memasukan sastra Melayu Tinghoa ke dalam kurikulum pendidikan. Alhasil, masyarakat Indonesia lebih mengenal pujangga angkatan Balai Pustaka lama seperti Marah Rusli, Amijn Pane, Nur Sutan Takdir, Muhamad Yamin, Tulis Sutan Sati dan Abdul Muis dibanding sastra Melayu Tinghoa.
Nama-nama pengarang produktif keturunan Tionghoa, seperti Tjoe Bou San, Kwee Tek Hoay, Soe Lie Piet (ayah dari Soe Hoek Gie), dan lain sebagainya, juga tak dikenal.
Persoalan itulah yang antara lain membuat Teater Bejana memutuskan mengangkat karya Kwee Tek Hoay.
(asp/mad)