Kamis (5/1/2012) sore, detikcom mengunjungi Karin di rumah neneknya, Yatmi (50), di Jl KH Harun Nafsi Gang Tugul RT 08, Kelurahan Rapak Dalam, Kecamatan Loa Janan Ilir. Saat itu, jarum jam menunjukkan pukul 16.35 WITA. Tidak ada yang istimewa di rumah sang nenek yang terbuat dari kayu, dengan kondisi plafon rumah yang tiap kali bocor di saat hujan turun.
Saat itu, ditemani Yatmi, saat duduk Karin harus sesekali berbaring disebabkan tidak kuat untuk menahan rasa sakit pembengkakan perutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perut Karin saat itu terlihat semakin membesar di sebelah kiri bawah bagian sekitar pinggang. Waktu usia 7 bulan, Karin harus dirawat di RS Abdul Wahab Syachranie untuk memastikan penyakitnya," kata Yatmi dalam perbincangannya bersama detikcom.
"Waktu itu, Karin seringkali menangis karena kesakitan. Karena sedikit ada persoalan anak saya Ulianto Taufikri (25) dengan ibunya Karin (Norvita), ibunya ternyata memilih meninggalkan Karin. Mungkin malu dengan kondisi anaknya seperti itu," ujar Yatmi.
Dari pemeriksaan medis saat itu, dokter yang menangani Karin menyebutkan bahwa Karin menderita pembengkakan hati dan penyempitan kantung empedu. Disebabkan keterbatasan peralatan di rumah sakit, dokter pun menyarankan agar Karin dibawa berobat ke rumah sakit di Jakarta.
"Biayanya disebutkan Rp 800 juta hingga Rp 1 miliar. Darimana uang sebanyak itu?," ucap Yatmi, sambil menitikan air matanya.
Lagi-lagi akibat keterbatasan keuangan, Karin harus rela menjalani perawatan rumah sakit hanya selama 18 hari di rumah sakit tersebut. Dengan kondisi perut yang terus membengkak, Karin pun menjalani perawatan di rumah sang nenek dengan kemampuan seadanya.
"Anak saya (Ulianto Taufikri) buruh di pergudangan dengan gaji Rp 750 ribu perbulan. Itu pun harus menghidupi saya, Bapaknya dan juga anakna, Karin," sebut Yatmi.
Selama di rumah sang nenek, kondisi Karin tidak kunjung membaik. Bahkan perut, kedua tangan dan kedua kakinya, wajah dan kedua matanya terlihat menguning. Meski demikian ayahnya, Ulianto Taufikri, berusaha keras untuk tetap memenuhi kebutuhan Karin akan nutrisi susu yang harus dikonsumsi untuk balita seusianya.
"Itu pun kalau ada uang, beli susu. Kalau tidak ada uang, ya tidak minum susu," kisah Yatmi.
Upaya meminta pertolongan pun juga sudah dilakukan Yatmi, yang memang sehari-harinya harus menemani Karin, layaknya ibu kandungnya sendiri. Mulai dari mengadukannya ke Ketua RT setempat hingga ke Lurah Rapak Dalam. Sesuai surat tertanggal 18 November 2011, Lurah Rapak Dalam hanya bisa mengeluarkan selembar surat yang isinya hanya menampung keluhan Karin akibat sakit yang dideritanya.
"Katanya, Pak Lurah mau membawa Karin menemui Pak Wali Kota Samarinda (Syaharie Jaโang) mengusulkan permintaan pertolongan pengobatan Karin. Tapi hingga sekarang ini, surat itu hanya sekadar selembar surat," terang Yatmi yang juga masih berkaca-kaca mengenang perjuangannya saat itu sambi membawa selembar surat Lurah.
"Kondisi Karin ini tidak main-main. Ini ada hasil rontgen Karin dari rumah sakit dan riwayat penyakit yag dideritanya. Saya harus mengadu kemana lagi," ucapnya.
Hingga saat ini pun, tidak ada satu pun pejabat yang peduli terhadap penyakit Karin, meski itu sudah diketahui Lurah. Meski begitu, Karin, tidak akan putus asa untuk terus berjuang melawan penyakit yang dideritanya.
"Saya yang menemani Karin, tidak akan terus mengeluh. Saya hanya bisa berucap Astaghfirullahal Adzim waktu liat Karin harus menangis kesakitan setiap tengah malam. Waktu itu, kondisi badan Karin cukup panas dan dia memang sepertinya demam," sebut Yatmi sambil mengakhiri perbincangannya.
Hingga memasuki petang, Karin pun berusaha untuk tertidur dalam ayunan kedua tangan sang nenek. Entah, sampai kapan Karin harus menanggung derita penyakitnya. Terleb h lagi, semenjak sakit, sang Ibu hanya 2 kali menjenguk Karin.
(anw/anw)