"Syarat seperti yang tercantum dalam RUU Perguruan Tinggi (PT) sangat berat untuk mengangkat lebih banyak PT riset," ungkap Mantan Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Prof Ir Bambang Soehendro, MSc, PhD dalam acara diskusi 'Riset dan Pengabdian' di Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin (2/1/2012).
Meski sejumlah PT telah menamakan diri sebagai PT riset, lanjut Bambang, PT yang bersangkutan bisa dipastikan jauh dari memenuhi persyaratan. PT juga dibebani untuk mencari dana sendiri minimum 25 persen dari keseluruhan operasional.
Menurutnya, universitas riset di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) sebagian besar dananya masih dari pemerintah. Sementara dana sponsor dari industri rata-rata kurang dari 10 persen dari total yang diperlukan sebagai biaya riset.
Dia mencontohkan universitas-universitas di AS, sumber dana riset dan pengembangan terbanyak dari pemerintah federal. Dana riset dan pengembangan dari pemerintah federal sebesar 64,6 persen, dana riset dari industri selalu di bawah 10 persen. "Sedangkan dari dana sendiri 16,6 persen," kata guru besar Fakultas Teknik UGM itu.
Dia mengatakan RUU PT sudah dua tahun berada di DPR. Namun sampai tuturnya.
Sementara itu Dekan Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Dr Ir Djagal Wiseso Marseno, M Agr menambahkan dana riset yang dibantu pemerintah bagi PT sangat kecil. Anggaran riset dari APBN 2009 dibawah 0,5 persen. Padahal di tahun 1969 anggaran riset pernah mencapai angka 3 persen.
"Kenyataannya anggaran riset terus konsisten turun anggaran hingga di bawah 1 persen," katanya.
Menurut dia, ada atau tidak dana untuk penelitian, semua PTN selayaknya menghasilkan penelitian berkualitas. Selain itu, universitas juga belum bisa mengatur penelitian secara sinergis antara penelitian universitas, fakultas, hingga jurusan.
"Masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Riset dari universitas, fakultas, juruan harusnya satu garis lurus dalam satu kebijakan, sehingga ada efisiensi penelitian," pungkas Djagal.
(bgs/feb)