Peringati Hari Anak Nasional, 23 Juli 2004
Stop Pekerjakan PRT Anak-anak
Kamis, 22 Jul 2004 01:01 WIB
Medan - Memperingati Hari Anak Nasional (HAN), 23 Juli 2004, masyarakat dihimbau menghentikan mempekerjakan anak-anak sebagai pembantu rumah tangga. Pekerjaan Pembantu Rumah Tangga Anak (PRTA) dianggap sebagai bentuk pekerjaan terburuk untuk anak-anak. Tahun 2003, tercatat lebih dari 700 ribu anak yang bekerja sebagai PRTA di Indonesia. Berbagai fakta menunjukkan, PRTA mengalami berbagai perlakuan kejam dan hingga menyebabkan mereka meninggal. Mereka mengalami perlakuan seperti ditendang, disiram air panas, dicambuk, disetrika, dipukul dengan tangan/benda tertentu, rambut dijambak, tidak diberi makan, diberi makanan basi, disekap di kamar mandi/gudang, kerja dari jam 04.30-23.00, tanpa istirahat cukup dan antara satu unit kerja dengan unit kerja lain tanpa istirahat cukup. Ada juga diperlakukan dengan perintah berbeda untuk satu pekerjaan, gaji tidak dibayar atau tak sesuai perjanjian.Secara seksual mereka juga ada mengalami perlakuan seperti pantat diremas-remas dari belakang, dicium paksa, dipegang payudara, diajak berhubungan seks dengan cara rayuan atau nonton film porno, diperkosa setelah diberi obat perangsang atau dengan ancaman, dipaksa menyaksikan majikan berhubungan seksual, diolok-olok dengan kata-kata porno atau bagian fisik tertentu atau dipaksa oral seks atau mengonani.Demikian dikatakan Sulaiman Zuhdi Manik, Koordintaor Divisi Informasi Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) kepada detikcom, Rabu (21/7/2004).Realita PRTA saat ini bukan dunia ramah yang memungkinkan anak menikmati hak-haknya serta berkesempatan mengembangkan potensi dan kemampuan dirinya. Lagi pula tingkat usia dan perkembangan fisik, mental, moral maupun spiritual anak masih lemah. Mereka belum bisa berpikir seperti orang dewasa berpikir, belum mampu survive, belum bisa membuat adjustment mana yang baik dan buruk. Anak adalah kelompok paling rawan.PRTA selama ini masih diasumsikan sebagai urusan domestik (rumah tangga) sehingga majikan menganggap ia berhak melakukan apapun terhadap pembantunya dan orang luar tidak berhak ikut campur. Hinaan, bentakan, sampai hukuman fisik sering diasumsikan sebagai mendidik, mengingatkan atau memberipelajaran.Demikian juga asumsi bahwa PRT bukan sebagai pekerja, menyebabkan gaji atau imbalan yang diberikan tergantung si majikan. Manakala dia anak, majikan juga punya pertimbangan: si anak tidak banyak kebutuhan, ia pantas dibayar murah karena anak-anak dan berbagai alasan menyebabkan upah atau imbalannya lebih murah.PRTA selama ini belum memperoleh perhatian serius baik oleh pemerintah maupun masyarakat, padahal PRTA merupakan masalah yang ada diantara kita dan berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 2000 tentang ratifikasi Konvensi ILO No. 182 Pembantu Rumah Tangga dikategorikan sebagai bentuk pekerjaan yang terburuk untuk anak (the worst form of child labour).Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jacob Nuwa Wea, bahkan mengakui perlakuan terhadap PRT di dalam negeri tidak lebih baik dibanding di luar negeri. Ujar J Jacob, "Kalau mereka bekerja di luar negeri sudah ada aturannya dan mendapatkan upah yang cukup. Tidak seperti di Indonesia, dipaksa bekerja 24 jam, tapi tidak mendapatkan makan sewajarnya."PRT di Indonesia, bangun sebelum majikan bangun, mereka baru tidur setelah majikan dan keluarga tidur. Berdasarkan penelitian The International Program onthe Elimination of Child Labour (ILO-IPEC) tahun 2003 di Indonesia terdapat sekitar 700.000 anak (usia di bawah 18 tahun) terpaksa harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRTA). Jumlah ini, yang merupakan 25 persen dari jumlah PRT di Indonesia, mungkin terlalu konvensional karena berbagai kajian menyatakan jumlah PRTA di Indonesia mencapai separuh dari jumlah PRT, apalagi penelitian ini difokuskan hanya pada usia 15-18 tahun. Faktanya anak usia 10 tahun atau bahkan di bawahnya sudah banyak terpaksa menjadi PRTA.Ketergantungan ekonomi mereka kepada orang dewasa adalah legal, hingga anak tidak sepantasnya dipekerjakan di tempat-tempat terburuk dan membahayakan kesehatan, keselamatan dan moralnya. Tangan mereka, terlalu kecil untuk bekerja sebagai PRT, jiwa mereka terlalu suci untuk dikotori makian, umpatan atau hinaan Tuan, Nyonya, Den Mas atau Jeng Ayu. Mereka adalah anak yang seharusnya kita siapkan masa depan yang cerah untuknya, bukan menjadi babu atau budak.PKPA berharap agar pemerintah meningkatkan anggaran untuk sektor pendidikan terutama anggaran untuk keluarga kurang mampu. Sebab di bidang pendidikan Indonesia masih membutuhkan perhatian ekstra dari pemerintah karena saat ini 283.990 anak dari 21.678.643 anak masih buta aksara. Sedangkan angka putus sekolah di Indonesia adalah untuk SD/MI sebesar 1,46 %, SMP/MTs 2.27 % dan tingkat SLTA mencapai 2,48 %.Adapun persentase anak yang tidak memperoleh pendidikan adalah 72,65 % anak usia 0-6 tahun, 5,50 % usia 7-12 tahun, 44,30 % anak usia 13-15 tahun dan 67,68 % untuk anak usia 16-18 tahun. Dari separuh anak remaja yang tidak dapat bersekolah; hanya 53% masuk SLTP, dengan angka lebih rendah untuk perempuan dari pada anak laki-laki. Data The State f the World's Children Report 2004 (UNICEF: 2003), dari 10 anak yang berhenti sekolah di Sekolah Dasar enam orang adalah perempuan.Selain itu diharapkan agar pemerintah dan masyarakat segera melakukan langkah-langkah untuk mencegah dan menanggulangi berbagai faktor yang menyebabkan anak bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Terutama bagi mereka yang sudah terlanjur bekerja pemerintah harus memiliki agenda untuk menarik mereka dari pekerjaan tersebut selanjutnya memberikan pelatihan dan keterampilan sebagai modal bagi mereka menyongsong masa depannya.Ketiga: segera mengimplementasikan Gerakan Libur Mingguan untuk Pembantu Rumah Tangga. Gerakan ini telah ditandatangani Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jacob Nuwa Wea serta Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Sri Rezeki S, di Jakarta 23 Januari 2002 yang berbunyi: "Pembantu rumah tangga adalah bagian dari kerja yang menyumbang produktivitas masyarakat. Mereka berada pada keluarga dan menjadi bagian penentu kualitas kehidupan keluarga. Mereka berhak memperoleh libur mingguan untuk dapat hidup bermartabat".Keempat, kepada masyarakat diminta untuk tidak mempekerjakan anak, yaitu seseorang yang berusia di bawah 18 tahun sebagai pembantu rumah tangga, sebab pekerjaan ini merupakan salah satu bentuk pekerjaan yang terburuk untuk anak-anak.
(dni/)