Menurut Dosen Teknik Sipil Universitas Pelita Harapan (UPH) Wiryanto Dewobroto 3 hal mendasar itu yaitu bagaimana tim konsultan bekerja di tahap awal, lalu material yang digunakan untuk membangun dan sistem perawatan yang dilakukan.
"Saat akan melakukan pembangunan, tentu harus ada konsultan yang merencanakan, misalnya dari sudut kepentingan ekonominya dulu. Setelah itu masuk tahap engineering untuk melihat kondisi jembatan yang cocok di daerah itu dengan mempertimbangkan kondisi geografis," terang Wiryanto Dewobroto saat berbicang dengan detikcom, Selasa (29/11/2011).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tentunya suatu pembangunan itu telah diprediksi harusnya nggak boleh ambruk. Kalau semua telah melalui perhitungan yang baik tentu itu kuat. Selain itu juga perlu dirawat dengan baik, karena material itu kan tentu juga tidak abadi, tanpa perawatan tidak ada fungsinya juga," katanya.
Ia menilai, di Indonesia budaya membangun lebih tinggi ketimbang budaya merawat bangunan tersebut. Padahal perawatan itulah yang lebih penting dan sering dianggap hal yang sepele.
"Tidak hanya untuk jembatan, kita ini kan memang unsur pembangunan lebih utama dari pada perawatan. Perawatannya sekadarnya saja, itulah yang belum jadi fokus kita. Kalau dilihat baik ya sudah," keluhnya.
Lalu berapa bulan sekali waktu yang ideal untuk melakukan pengecekan? Menurutnya harusnya itu dilakukan setiap hari. Tapi itu juga bergantung pada skala kerusakannya.
"Karena pengecekan rutin itu tentu perlu. Misalnya jembatan di rel kereta api itu selalu rutin dicek, setiap jalan ada yang melakukan pengamatan. Tapi perlu juga melakukan pengecekan fisik dari pihak pengawas," ungkapnya.
Terkait dengan ambruknya Jembatan Kutai Kertanegara, Wiryanto tidak ingin menanggapinya lebih jauh. Hanya saja menurutnya, pembangunan jenis jembatan gantung di kawasan itu tidak salah dan sudah tepat.
"Sebagai seorang insinyur untuk mendapatkan putusan engineering tentu dibutuhkan data dulu. Karena saat ini sedang dilakukan evaluasi penyidikan untuk mencari tahu penyebabnya. Tapi melihat kondisinya bentang tengah 750 meter, menggunakan jembatan itu sudah tepat. Apalagi jembatan ini berada di atas sungai yang kedalamannya di atas 30 meter itu sudah benar," ungkap Wiryanto.
Ia menambahkan, saat ini di Indonesia memiliki 10 ribu lebih jembatan. Namun yang memiliki besar dan konstruksi hampir sama dengan Jembatan Kutai Kertanegara hanya 2 persen.
"Dan dari jembatan itu semua, kita para insinyur hanya berusaha meminimalisir tapi tidak bisa memastikan. Karena tidak selamanya indikasi itu terdeteksi, itulah yang jadi masalah," tandasnya.
(lia/nwk)