Demikian Ketua Umum Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Warsito P. Taruno melalui siaran pers yang diterima detikcom, Minggu (13/11/2011).
"Akibatnya, para peneliti lebih banyak asyik dengan dunianya sendiri dan tak beranjak mengaplikasikan teknologi yang dihasilkannya ke dunia bisnis atau usaha," ujar Warsito.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Konsekuensinya ketika memaksakan diri untuk menjadikan teknologinya produk yang diminati masyarakat, mereka menemukan kegagalan, papar pendiri Edwar Technology dan pemegang paten teknologi pemindai empat dimensi (ECVT 4D) ini.
Lanjut Warsito, ia banyak menemukan para peneliti yang lebih suka di laboratoriumnya saja, tanpa mencoba melihat demikian banyak kebutuhan masyarakat yang bisa dipenuhi dengan teknologi yang mereka miliki.
"Padahal bila mereka jeli, banyak peluang usaha bisa memanfaatkan teknologi yang mereka telah tekuni selama bertahun-tahun," imbuh Warsito.
Menurut Warsito, kondisi ini makin diperparah oleh belum besarnya perhatian pemerintah kepada upaya penumbuhan UKM berbasis teknologi.
Sudah tak berbasis kebutuhan publik, juga masih ada kesenjangan antara keinginan peneliti atau teknolog dengan perhatian pemerintah dalam membangun wirausaha berbasis teknologi," terang Warsito.
Harusnya, imbuh Warsito, dua kepentingan ini menjalin sinergi sehingga peneliti yang merintis usahanya berbasis kebutuhan masyarakat didukung penuh oleh keinginan kuat pemerintah membangun dunia usaha berbasis teknologi.
Pentingnya sinergisitas dua pihak ini menjadi sebuah keharusan, sebab bila tidak gagal, usaha ini jalan di tempat atau tidak berkembang.
Warsito mencontohkan bagaimana Singapura gagal membangun teknopreneurship dari para penelitinya meski sudah mengucurkan dana insentif tak kurang dari Rp 1 triliun selama 15 tahun. Demikian pula Filipina dan beberapa negara ASEAN lainnya.
Meskipun demikian, Warsito yang saat ini tengah mengembangkan perangkat pembasmi kanker khususnya kanker payudara, tak menampik bila peneliti yang membangun usahanya berbasis kebutuhan masyarakat dapat berkembang tanpa campur tangan pemerintah.
Ia kemudian menunjuk Teraflux, sebuah perusahaan desain kapal kepercayaan pengusaha Amerika dan Jepang yang dipimpin Kaharuddin Jenod. Juga Xirca, perusahaan pembuat chip telekomunikasi nirkabel yang dimotori Eko Fajar sebagai bukti keberhasilan usaha peneliti yang berbasis kebutuhan masyarakat pengguna, meski tak ada campur tangan pemerintah.
Atau seperti riset-riset nanoteknologi dari Nurul Taufiqu Rohman yang kewalahan memenuhi order industri jamu atau kosmetik yang meminta bahan baku jamu atau kosmetiknya diberi sentuhan teknologi nano, papar Warsito.
Pakar nanoteknologi Nurul Taufiqu Rohman yang berbicara di sesi Seminar Nano membenarkan bahwa teknologi nano yang dikembangnya semakin menarik minat kalangan industri.
"Nano teknologi diyakini sebagai sebuah konsep teknologi yang akan melahirkan revolusi industri baru di abad ke-21. Beberapa cabang ilmu terapan dan medis mengadopsi nanoteknologi dan nanosains dan menjadikannya sebagai pondasi utama, ujar Nurul, yang juga Ketua Masyarakat Nanoteknologi (MNI) dan anggota Dewan Pakar MITI.
Ia kemudian mencontohkan perkembangan nanoteknologi dalam dunia computer telah mengubah tak hanya ukuran computer semakin ringkas namun juga peningkatan kemampuan dan kapasitas luar biasa, sehingga memungkinkan penyelesaian program-program raksasa dalam waktu singkat.
Jika diimplementasikan dalam pengolahan baja, maka nanobaja mampu menghasilkan baja yang berstruktur halus karena mampu mencapai ukuran beberapa puluh nanometer saja, namun memiliki kekuatan dan umur dua kali lipat dari baja terbaik yang ada saat ini.
Padahal, teknologi nanobaja sangat sederhana dan tidak memerlukan peralatan tertentu untuk pembuatannya, papar doktor bidang ilmu material dan rekayasa produksi dari Kagoshima University, Jepang tersebut. (es/es)