Tentu bukan tanpa alasan mereka ngotot agar nilai ambang batas (parliamenthary threshold) tidak lebih dari 3 persen. Berikut penjelasan Ketua DPP PAN, Viva Yoga Muladi, mengenai dasar alasan 'perjuangan' Poros Tengah dalam proses pembahasan RUU Pemilu di DPR.
"Sistem pemilu kita menurut UUD 1945 adalah proposional. Bila penerapan ambang batas (Parliamenthary Threshold) tinggi maka indeks disproposionalitas juga akan tinggi. Akibatnya banyak suara sah hangus karena tidak bisa dikonversi menjadi kursi. Hal ini akan semakin menjauhkan dari nilai proposionalitas dan pemilu menjadi tidak berkualitas. Penerapan PT tinggi (di atas 3%) akan melanggar UUD RI 1945," tutur Viva.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Parpol secara sosiologis adalah pengejahwantahan dari kelompok-kelompok sosial di masyarakat yang berbeda agama, suku bangsa, adat, ideologi, dan golongan. Mereka berhimpun dalam parpol atas dasar persamaan ide, gagasan, dan cita-cita bersama. Jumlah parpol di tingkat nasional sudah cukup merepresentasikan kebhinekaan masyarakat Indonesia," tutur Viva di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (1/11/2011).
Selain itu tujuan merevisi UU pemilu adalah untuk membangun sistem kepartaian yang demokratis, sehat, dan kuat. Bukan untuk menghilangkan atau membunuh parpol kecil atas nama menciptakan pemerintahan presidensiil yang efektif dan efisien.
"Ini logika yang salah dari partai besar karena untuk menciptakan pemerintahan presidensiil yang efektif dan efisien bukan ditentukan oleh jumlah partai tapi oleh adakah perbedaan ideologi politik partai dan komposisi perolehan kursi partai di DPR. Di samping itu juga ditentukan oleh adakah leadership yang kuat di pemerintahan," ujar anggota Komisi IV DPR itu.
"Bila tidak ada kepemimpinan yang kuat dan berwibawa, meski jumlah partainya sedikit maka tetap saja akan terjadi instabilitas politik dan jalannya pemerintahan tidak efektif dan efisien," lanjut Viva.
Selain itu poros tengah mendorong pembahasan RUU pemilu harus diputuskan melalui landasan konstitusional dan tidak boleh bertentangan dengan kaidah keilmuan pemilu, karena penerapan ilmu pemilu di Indonesia itu berdasarkan dari penemuan dan modifikasi yang sudah ada, tanpa boleh melenceng dari kaidah yang ada.
Memberi pelajaran politik kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam memonitor proses pembahasan RUU pemilu di DPR agar berjalan sesuai tujuan di revisinya RUU pemilu. Jangan sampai ada tirani mayoritas atau diktaktor minoritas di DPR. Kekuatan civil society harus terlibat aktif dalam proses pengambilan kebijakan RUU pemilu ini.
"Jadi poros tengah memang menarik," pungkasnya.
(van/lh)











































