Seperti diceritakan Wanti (34), PRT asal Kebasen, Banyumas, Jawa Tengah mengisahkan pengalamannya bekerja 10 tahun di salah satu rumah makan ayam goreng ternama di Yogyakarta. Dengan alasan seperti sudah anaknya sendiri, majikan tak menggaji Wanti dalam kurun waktu 6 tahun.
"Kamu sudah seperti anak sendiri, seharusnya kamu mengerti," ujar Wanti, menirukan ucapan majikannnya, di PN Jakpus, Jalan Gajah Mada, Jakarta, Kamis (27/10/2011).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wanti memang diizinkan untuk tinggal di rumah majikan. Makan dan minum sehari-hari pun ditanggung. Tapi, kebutuhan pribadi yang diberikan oleh majikannya hanya sebatas sabun mandi. "Baju, pembalut, semuanya beli sendiri," kata Wanti.
Padahal, dirinya sudah bekerja di rumah makan itu sejak usia 16 tahun. Bahkan, pada awal bekerja, yakni dari 1993 hingga 1996 gaji yang diberikan juga tidak penuh. Oleh sebab itu, Wanti mengaku sempat mengundurkan diri.
Pada 1999, sambung Wanti, dirinya baru kembali bekerja hingga 2005. Di situlah ia tak pernah dibayar. "Alasan saya lama di situ hanya karena kasihan dengan anak majikan saya. Jadi gak tega. Soalnya nggak pernah diurusin sama ibunya," jelas Wanti.
Lain Wanti, lain lagi dengan Imas (28), TKW asal Jawa Barat, yang pernah bekerja di Kuwait. Di sana, Imas mengaku mengalami penyiksaan oleh majikan karena baju yang dibersihkannya melalui mesin cuci luntur terkena noda, pembersih. "Kan nggak diajarin di PJTKI jadi saya salah," kata Imas.
Imas menjelaskan, sebelum keberangkatan ke Kuwait, tidak ada perjanjian penempatan yang dibuat. Bahkan pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) hanya diberikan setengah hari oleh PJTKI yang menyalurkannya sebelum keberangkatan dilakukan.
"Pernah saya mau diperkosa. Lalu saya kabur lewat jendela. Tapi jatuh dari lantai 2," terang Imas.
Akibat jatuh tersebut, kini dia harus menggunakan tongkat untuk membantu berjalan. Sebab pergelangan kaki dan beberapa ruas tulang punggung patah.
Seperti diketahui, 162 PRT dan majikan menggugat pemerintah. Pihak yang digugat adalah Presiden, Wakil Presiden, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Luar Negeri, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, dan DPR. Para tergugat dinilai lalai dalam menjalankan tugas dan kewajiban terkait pembantu rumah tangga.
Pemerintah dan DPR harus segera mengesahkan sejumlah undang-undang terkait tenaga kerja, merevisi UU 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dan segera meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan anggota keluarganya.
(asp/ken)