Kali ini, giliran penggiat HAM yang tergabung dalam LSM Imparsial melempar tuduhan serupa. Dengan mengutip dari website resmi Freeport, perusahaan asal AS tersebut mengaku telah menyetor uang keamanan kepada polisi sebanyak US$ 1 juta pada tahun 2010. Sementara dari periode 1995 hingga 2004, Freeport telah menggelontorkan uang US$ 60 juta untuk TNI/Polri untuk mengamankan bisnis-bisnisnya.
"Uang keamanan itu diakui dan tertulis di website resmi Freeport. US$ 1 juta tahun 2010 dan US$ 60 sepanjang 1995-2004 Sangat disayangkan, karena Freeport lebih senang memberikan uang kepada orang lain daripada mensejahterakan buruh dan karyawannya. Padahal, kalau mau meningkatkan kesejahteraan pekerja Freeport, tidak akan terjadi konflik berkepanjangan," kata Direktur Operasional Imparsial, Bhatara Ibnu Reza saat jumpa pers di kantornya, Jl Slamet Riyadi, Jakarta Timur, Kamis (27/10/2011).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu tidak diperbolehkan oleh aturan apapun. Itu masuk korupsi dan KPK pantas mengusut karena nilainya di atas Rp 1 miliar," tukas Bhatara.
Akibat setoran uang keamanan tersebut, kinerja Polri/TNI menjadi tidak profesional bahkan cenderung terjadi konflik. Imparsial menilai, 2 institusi tersebut saling bersaing untuk memperoleh jatah uang keamanan lebih besar.
"Akibatnya ada persaingan antara Polri dan TNI untuk mendapatkan itu. Cenderung ke konflik dan itu terbaca dari eskalasi konflik yang naik turun," sergah Bhatara lugas.
Menanggapi setoran dari Freeport itu, Panglima TNI Agus Suhartono akan menindak tegas anak buahnya yang menerima atau mendapatkan uang secara tidak resmi dari PT Freeport, terkait pengamanan di perusahaan penambangan milik Amerika tersebut. Bahkan Agus meminta nama-nama siapa anggota yang menerima setoran.
"Kalau ada buktinya kasihkan ke saya, baru kalau itu tidak resmi pasti akan kita tindak. Kalau ada buktinya kasihkan ke saya. Pasti akan dikenai sangsi? Oh terima kasih. Mana buktinya?" tukas Agus Suhartono.
(Ari/rdf)