Kekerasan Meningkat karena Masyarakat Pelihara Budaya 'Senggol Bacok'?

Kekerasan Meningkat karena Masyarakat Pelihara Budaya 'Senggol Bacok'?

- detikNews
Selasa, 25 Okt 2011 07:40 WIB
Jakarta - Tidak sampai setengah hari, media sempat merekam aksi kekerasan masyarakat yang dipicu masalah 'sepele' namun berujung korban jiwa. Di Kota Tangerang, seorang pedagang membogem pembeli hingga tewas lantaran tidak terima daganganya dibilang terlalu mahal.

Di Duren Sawit, Jakarta Timur, seorang calon pembeli terpaksa duel dengan petugas dealer motor dan menyebabkan kematian seorang warga. Sementara di Cirebon, sebuah bus Luragung dibakar massa setelah bus tersebut menabrak 2 sepeda motor hingga tewas.

Ketiga peristiwa itu terjadi pada Senin (24/10/2011) petang hingga tengah malam karena hal-hal sederhana yang dapat diselesaikan musyawarah atau jalur hukum. Namun, masyarakat memilih jalan lain yakni main hakim sendiri. Benarkah budaya 'senggol bacok' yang populer di kalangan warga semakin mengental?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Nggak. Itu bukan karena budaya senggol bacok," kata Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia, M. Mustofa saat berbincang dengan detikcom, Selasa (25/10/2011).

"Namun karena masyarakat frustasi terhadap sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Itu akumulasi pengalaman sehari-hari yang menumpuk, mencari kerja susah, mengurus surat-surat susah, sopir angkot harus bayar ke preman. Membaca berita koruptor bebas, pemimpinnya jalan-jalan ke luar negeri," imbuh pakar yang sempat mengenyam pendidikan di Universitas Melbourne, Australia ini.

Menurut Mustofa, pengalaman buruk orang per orang menumpuk dengan ketidakadilan pemimpin dan lemahnya penegakan hukum. Sehingga kasus sedikit saja terutama yang menyangkut harta benda, masyarakat mudah bertindak anarkhis secara spontan.

"Membaca berita, koruptor bisa bebas tetapi Puskesmas dan sekolah dibiarkan rusak. Mencari makan susah. Mengurus ini-itu banyak pungli. Peristiwa kekerasan seperti itu yang sebetulnya berhubungan dengan harta benda. Artinya masyarakat sedang mengalami ketidakpastian hidup, sehingga sumbu orang menjadi pendek. Saluran penyelesaian formal tidak dipercaya," tukasnya.

Solusi mengeluarkan masyarakat dari perilaku kekerasan, usul Mustofa, adalah perbaikan struktur sosial yang tidak adil dan penegakan hukum tanpa pandang bulu.

"Analoginya seperti rumah yang halamannya kotor, kacanya sudah pecah-pecah. Kalau tidak diperbaiki akan datang anak-anak kecil bermain dan semakin merusak. Ini yang disebut dalam bahasa sosiologi 'anomi'. Dalam bahasa pujangga Ronggowarsito, zaman edan," tukas pakar yang juga pernah menimba ilmu di Universiteit te Utrecht, Belanda tersebut.


(Ari/anw)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads