"Surat itu betul ada dari AM Fatwa, itu terkait anak perusahaan yang telah terselesaikan. Saya punya surat pengakuan hak (SPH). Saya sudah menjelaskan ke Sudi dan Djoko, dan saya sudah serahkan ke Sudi tidak ada persoalan itu," ujar Fadel.
Hal ini ia sampaikan kepada wartawan ketika menggelar jumpa pers di rumah dinasnya, Komplek Widya Chandra V No 26, Jakarta Selatan, Sabtu (22/10/2011).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tiga hari sebelum ke Yogya, saya diminta dokumen lengkap oleh Pak Djoko, itu saya serahkan di kantor Menkopolhukam pukul 08.30 WIB. Pukul 15.30 WIB Sudi menelepon saya, dia bilang saudara tetap di kelautan perikanan," terang Fadel.
Menurut Fadel kasus ini sudah selesai saat ia menjelaskan duduk persoalannya kepada Djoko Suyanto. "Kalau belum pasti diperdatakan, dibawa ke hukum," imbuhnya.
Politisi senior, AM Fatwa mengaku dirinya mengirim surat ke Presiden SBY terkait kasus tanah yang menyeret nama Fadel Muhammad. Fatwa menjelaskan bahwa surat tersebut ia kirim dalam kapasitasnya sebagai Tim Kerja (Timja) Aset Negara.
"Ya saya memang mengirim surat ke Presiden SBY. Tapi dalam rangka tugas Timja untuk menyelamatkan aset negara, tidak ada kaitannya dengan reshuffle," ujar AM Fatwa saat dihubungi detikcom, Jumat (21/10/2011).
Senator asal DKI Jakarta inipun akhirnya menceritakan asal muasal masalah sehingga ia harus mengirim surat ke SBY.
Sengketa bermula saat UIN Syarif Hidayatullah melakukan perjanjian dengan PT Anugerah Cipta Buana (ACB) milik Fadel Muhammad pada tahun 1994. Isi perjanjiannya PT ACB menyanggupi untuk menyediakan lahan seluas 40 Ha untuk pembangunan kampus.
Saat itu Rektor UIN masih dijabat oleh Qurais Shihab. Karena menyanggupi, PT ACB kemudian diberi dana sebesar Rp 5 miliar untuk pembebasan lahan seluas 40 Ha itu.
Namun ternyata Fadel memberikan tanah yang luasnya kurang dari yang dijanjikan. Selain itu, lahan yang diberi tidak dalam satu hamparan.
"Padahal seharusnya satu hamparan seluas 40 Ha, tetapi yang diberikan itu tercacah-cacah. Selain itu surat tanahnya juga bermasalah ternyata," terang AM.
Namun hingga pergantian rektor 3 kali, (Qurais Shihab diganti Azyumardi Azra lalu Komaruddin Hidayat) Fadel tidak segera menepati janjinya.
Pihak Kementerian Agama pun mengadukan hal ini ke DPD, karena tanah yang dijanjikan tersebut merupakan aset negara. DPD akhirnya membentuk Timja yang diketuai oleh AM Fatwa untuk menuntaskan kasus ini.
"Tapi janji-janji Fadel yang katanya mau membicarakan kasus ini tidak kunjung dilakukan. Bahkan saya sudah bertemu di Gorontalo tapi juga belum ada hasil," terang AM.
Karena tak kunjung direspon, Timja pun mengirimkan surat ke Presiden SBY agar kasus ini mendapat perhatian khusus. Tidak hanya Timja, Rektor UIN yang saat ini berganti nama menjadi IAIN juga mengirimkan surat ke SBY.
"Saya kirim tanggal 23 September, kalau Rektor tanggal 22 September. Surat saya juga saya tembuskan ke beberapa lembaga negara, seperti BPK, DPR, bahkan DPP Golkar pun saya tembusi karena Fadel adalah Waketumnya," terang AM.
Atas surat tersebut, tanggal 12 Oktober Menkopolhukam kemudian memanggil AM Fatwa dan pihak Rektorat IAIN dan dari pihak Kemenag. Timja pun kemudian menyampaikan duduk permasalahan terebut kepada Djoko Suyanto.
"Setelah itu tanggal 17 Oktober dibuat perjanjian bahwa Fadel akan menyediakan lahan seluas 40 Ha di daerah Tangerang, Banten. Batas waktunya 6 bulan," terangnya.
Namun AM Fatwa menolak bahwa suratnya ke Presiden SBY bertujuan untuk menjatuhkan Fadel Muhammad. Surat 6 halaman tersebut dikirim semata demi menyelamatkan aset negara, karena uang yang telah diberikan kepada Fadel pada tahun 1994 tersebut bersumber dari APBN.
"Kalau kemudian ini dikaitkan dengan pencopotan Fadel, ini masalah waktu saja yang bertepatan. Saya mengirim surat ini untuk menyelamatkan aset negara," imbuhnya.
(her/gah)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini