"Memang kita punya kekuatan efektif penindakan, tapi dasarnya kan UU terorisme. Untuk penindakan paling depan adalah kepolisian, yang dilakukan Densus 88 karena konteksnya extraordinary crime," ujar pengamat intelijen Mufti Makarim kepada detikcom, Selasa (27/9/2011) malam.
Mufti menilai sinergi antara kekuatan-kekuatan antiteror belum terjalin. Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) belum mampu merangkul semua kekuatan pemukul ini dalam satu wadah. Kembali, TNI pun harus bersabar karena tidak bisa ikut berlaga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mufti menilai Indonesia perlu meniru cara Amerika Serikat dalam mengatur peran pasukan pemukulnya. Ada pembagian peran yang jelas sehingga tidak ada overlap. Contohnya jika ada teror di tingkat lokal, maka menjadi porsi Tim SWAT milik kepolisian daerah. Untuk menghadapi teror antar negara bagian, merupakan porsi FBI.
"Sedangkan untuk misi-misi pemberantasan teror ke luar negeri, bisa menggunakan militer seperti saat mengejar Osama bin Laden di Pakistan. Itu Navy Seal yang bergerak," katanya.
Sementara itu, Panglima TNI menilai berbagai teror yang terjadi belum masuk pada aspek pertahanan. Sehingga pelibatan langsung TNI belum dibutuhkan walaupun sesuai UU 34 tahun 2004, TNI memiliki kewenangan untuk pemberantasan teroris.
"Yang penting adalah sinergitas TNI, Polri, BNPT itu yang akan terus kita lakukan. Jadi sepanjang itu masih lingkup tugas TNI sesuai UU akan kita lakukan," ujar Agus beberapa hari lalu.
(rdf/rdf)